Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) mengungkap berbagai modus yang dilakukan dalam praktik pengedaran rokok ilegal. Teranyar, Bea Cukai sempat menemukan penyelundupan rokok ilegal dengan menggunakan mobil mewah.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Kemenkeu, Nirwala Dwi Heryanto menceritakan, upaya pencegatan terhadap pengedaran rokok ilegal tidak selalu berhasil. Namun, apabila berhasil, otoritas kerap menemukan peredaran hingga mencapai jutaan batang rokok ilegal.
Belum lama ini, jelas Nirwala, pihak Bea Cukai mencegat dugaan peredaran rokok ilegal di Kediri, Jawa Timur. Uniknya, terduga pelaku yang mengangkut rokok ilegal itu menggunakan mobil berkategorikan mewah seperti Toyota Alphard.
“Sekali waktu nangkep tuh yang [pakai] Alphard. Ini [Bea Cukai] Kediri dapat ya? Bawa rokok ilegal pakai Alphard. Supaya enggak dicurigai,” jelasnya di kantor Bea Cukai Pusat, Jakarta, Kamis (4/9/2025).
Nirwala menyebut biasanya Bea Cukai menemukan pengangkutan rokok ilegal menggunakan mobil Elf. Tidak jarang rokok-rokok yang melawan aturan itu diangkut dengan dititipkan secara tersembunyi melalui jasa penitipan.
Mengenai peredaran rokok ilegal saat ini, pejabat eselon II Ditjen Bea Cukai Kemenkeu itu mengatakan Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun ini akan merilis hasil survei terkait dengan hal tersebut. Tanpa ingatan jelas, Nirwala sempat menyebut pada dua tahun lalu survei menemukan rokok ilegal paling banyak berjenis rokok polos.
Adapun modus-modus rokok ilegal adalah rokok polos atau tanpa pita cukai. Artinya, peredaran rokok itu tidak berkontribusi terhadap penerimaan cukai dan melawan aturan.
Ada juga rokok menggunakan pita cukai palsu yang jumlahnya diperkirakan sangat kecil atau 1% dari total keseluruhan, hingga yang mengenakan pita cukai bekas.
Tidak hanya itu, terdapat rokok ilegal yang modusnya seperti praktik penghindaran pajak lebih besar atau tax avoidance. Misalnya, para pelaku mengenakan pita cukai untuk sigaret kretek tangan (SKT) yang notabenenya lebih murah, dan dipasang ke sigaret kretek mesin (SKM).
“Itu bisa kelihatan ada saltuk, salah peruntukan, SKT dipasang di SKM tujuannya apa? Membayar cukai yang lebih kecil dari yang seharusnya,” paparnya.
Tidak hanya praktik pengenaan pita cukai yang tidak sesuai atau saltuk, terdapat praktik salah personalisasi atau dikenal salson.
Untuk diketahui, terdapat tiga golongan rokok yakni SKT, SKM dan SKP yang kepanjangannya adalah sigaret kretek putih. SKP adalah jenis yang tertinggi karena tujuannya adalah ekspor. Untuk memastikan persaingan usahanya adil, maka ketiganya dikenakan tarif cukai yang berbeda berdasarkan golongan.
Golongan SKT, terang Nirwala, diproduksi biasanya sekitar 300 juta sampai dengan 500 juta batang per tahun. Tarifnya merupakan yang terkecil.
Sementara itu, SKM atau golongan 2 diproduksi 500 juta hingga 3 miliar batang per tahun dengan tarif medium. Termahal dan terbanyak dengan produksi 3 miliar ke atas adalah SKP. Pembedaan golongan atau layering tarif cukai itu diharapkan bisa menciptakan kondisi persaingan usaha yang adil.
Masalahnya, saat ini Nirwala menyebut Undang-Undang (UU) tentang Cukai tak mengenal praktik penghindaran pajak (tax avoidance) melainkan hanya penggelapan pajak (tax avoidance). Untuk cukai, penegakan hukum yang dilakukan terhadap pelanggaran terkait juga lebih berorientasi untuk restorative justice alias ultimum remedium.
Singkatnya, pendekatan penegakan hukum bukan untuk pidana badan melainkan untuk pengembalian potensi kewajiban yang seharusnya dibayarkan sejak awal.
“Makanya dendanya minimal dua kali kan, yang satu untuk bayar cukainya, yang satu dendanya gitu loh,” terangnya.
Sebagai informasi, risiko peredaran rokok ilegal sudah diantisipasi oleh pemerintah dalam menyusun RAPBN 2026. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melihat ada dua problematika yang dihadapi dalam menghimpun penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) tahun depan: peralihan konsumen ke produk rokok lebih murah (downtrading) dan peredaran rokok ilegal.
CHT merupakan penyumbang terbesar dari penerimaan cukai, jauh lebih besar dari penerimaan cukai terhadap etil alkohol atau etanol (EA) serta minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA).
Penerimaan cukai pada RAPBN 2026 ditargetkan sebesar Rp241,8 triliun, atau tumbuh 5,7% dari outlook 2025 yakni Rp228,7 triliun. Target setoran cukai tahun depan diharapkan bisa menopang target penerimaan dari kepabeanan dan cukai sebesar total Rp334,3 triliun.
