Radikalisme Gen-Z dan Budaya Literasi
Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat ASEAN, Peraih medali emas CONSAL Award
DENSUS
88 Anti-Teror Polri melaporkan bahwa 110 remaja usia 11-18 tahun diduga terekrut jaringan terorisme (
Kompas
, 18 November 2025). Sebelumnya juga viral tentang ledakan bom yang dilakukan oleh siswa SMA 72 Jakarta.
Berdasarkan laporan BNPT, radikalisasi pada generasi Z tercatat 10,4 persen menurut Indeks Potensi
Radikalisme
(IPR) tahun 2022. (
AntaraNews
, 22 April 2025). Angka ini lebih tinggi dibanding Gen Milenial (10,3 persen) dan Gen X (9,4 persen) menurut data yang sama.
Humas Polri menyebutkan bahwa anak-anak sangat rentan terpengaruh karena berbagai faktor, seperti
bullying
, kondisi keluarga
broken home,
kurang perhatian orangtua, pencarian jati diri, marginalisasi sosial, hingga minimnya literasi digital dan pemahaman agama. Dan media utama penyebaran faham ekstremisme melalui media sosial.
Kelompok ekstremis kini memanfaatkan platform seperti Instagram, TikTok, YouTube, dan forum anonim untuk menarik simpati generasi muda.
Konten yang disebarkan sering kali dikemas dalam bentuk: video sinematik bertema heroik, meme yang menormalisasi kekerasan, narasi emosional tentang ketidakadilan, dan pesan privat yang terstruktur layaknya grooming.
Generasi Z tumbuh dalam dunia yang serba cepat, terkoneksi, dan penuh banjir informasi. Internet memberi peluang besar bagi perkembangan kreativitas dan pengetahuan, tapi sekaligus membuka ruang bagi penyebaran paham ekstremisme dan terorisme.
Salah satu penyebab kerentanan generasi Z terhadap radikalisasi adalah minimnya
budaya literasi
, terutama literasi digital, literasi informasi, dan literasi kritis.
Keterkaitan antara terorisme dan literasi tidak hanya tentang membaca buku, tetapi bagaimana seseorang memahami, mengolah, dan menilai informasi yang diterimanya.
Ketika generasi muda tidak memiliki kemampuan literasi yang kuat, mereka lebih mudah percaya pada propaganda, narasi palsu, atau manipulasi ideologis.
Generasi muda sering kali terpapar banjir informasi tanpa dibekali kemampuan untuk membedakan fakta dan propaganda. Akibatnya, narasi ekstrem yang tampak logis atau emosional dapat diterima tanpa proses berpikir kritis.
Budaya literasi tidak hanya sebatas kemampuan membaca dan menulis, melainkan mencakup kemampuan memahami, memfilter, mengkritik, dan merefleksikan informasi.
Dalam konteks pencegahan terorisme, ada beberapa aspek penting.
Pertama, literasi digital. Literasi digital membekali generasi Z dengan pemahaman tentang cara kerja internet, algoritma, jejak digital, dan pola manipulasi online.
Individu yang melek digital akan lebih mampu: Mengenali konten ekstremis, menghindari jebakan propaganda, menilai kredibilitas sumber, memahami motif di balik narasi radikal.
Kedua, literasi informasi. Kemampuan untuk mengidentifikasi sumber yang valid, memverifikasi data, dan membandingkan informasi dari berbagai perspektif sangat krusial.
Literasi informasi membantu generasi Z untuk tidak menelan mentah-mentah narasi yang mengajak kebencian atau kekerasan.
Ketiga, literasi kritis. Literasi kritis menekankan kemampuan berpikir reflektif dan analitis. Melalui literasi ini, generasi Z dapat: memahami konteks sosial-politik suatu isu, mendeteksi bias dan manipulasi, dan menilai dampak jangka panjang dari ideologi ekstrem.
Kemampuan ini merupakan “vaksin kognitif” yang efektif untuk mencegah radikalisasi.
Keempat, literasi budaya dan toleransi. Selain fokus pada informasi, budaya literasi juga mencakup pemahaman terhadap keragaman budaya, agama, dan sosial.
Generasi yang memahami keberagaman lebih cenderung memiliki sikap inklusif dan kebal terhadap narasi kebencian yang sering digunakan kelompok ekstremis.
Untuk mempraktikan pentingnya budaya literasi, kami membuat program Gerakan Literasi Muhammadiyah dengan nama MENTARI (Muhammadiyah Membaca Setiap Hari).
Melalui program MENTARI, literasi tidak lagi dimaknai sebatas kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga mencakup kemampuan memahami, menganalisis, serta menilai informasi secara kritis.
Muhammadiyah sebagai organisasi pendidikan yang berorientasi pada pencerahan merespons tantangan ini dengan mengembangkan berbagai gerakan literasi, salah satunya melalui program MENTARI (Muhammadiyah Membaca Setiap Hari).
Program ini hadir bukan sekadar sebagai rutinitas membaca, tetapi sebagai strategi pembentukan karakter, kecakapan berpikir, dan penguatan nilai keagamaan yang berkemajuan di sekolah maupun pesantren Muhammadiyah.
Manfaat yang dirasakan dari program ini di antaranya:
Pertama, program MENTARI memberikan manfaat besar dalam menanamkan kebiasaan membaca yang konsisten kepada peserta didik.
Melalui kegiatan membaca setiap hari selama beberapa menit sebelum pelajaran dimulai, siswa dilatih untuk mencintai buku dan menjadikan aktivitas membaca sebagai bagian dari gaya hidup.
Melebihi ekspektasi kami, ternya ada siswa yang mampu membaca 67 buku dalam 10 bulan.
Pembiasaan ini membangun disiplin, meningkatkan fokus, serta menumbuhkan rasa ingin tahu. Dalam jangka panjang, rutinitas membaca harian akan membentuk pribadi pembelajar sepanjang hayat, karakter penting yang dibutuhkan dalam dunia modern yang terus berubah.
Kedua, MENTARI berkontribusi secara signifikan dalam meningkatkan kemampuan literasi dasar siswa.
Dengan kebiasaan membaca yang teratur, siswa mengalami peningkatan kemampuan memahami teks, memperkaya kosakata, serta mengembangkan kemampuan menulis.
Kemampuan-kemampuan ini akan berdampak langsung pada pencapaian akademik mereka. Siswa yang memiliki literasi kuat cenderung lebih mudah memahami materi pelajaran, mengerjakan tugas dengan lebih efektif, dan memiliki daya analisis yang baik.
Dengan demikian, MENTARI bukan hanya gerakan literasi, tetapi juga merupakan motor peningkatan mutu akademik.
Ketiga, program ini berperan penting dalam memperkuat pemahaman keagamaan yang moderat dan berkemajuan.
Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam yang menekankan nilai pencerahan, rasionalitas, dan toleransi.
Melalui MENTARI, peserta didik sering kali diarahkan untuk membaca bahan bacaan keislaman, Al-Qur’an, tafsir, maupun literatur Kemuhammadiyahan.
Pemahaman yang literat terhadap agama membantu siswa menghindari penafsiran tekstual yang sempit dan menguatkan sikap keberagamaan yang inklusif.
Dalam konteks maraknya penyebaran paham radikal dan intoleransi di ruang digital, MENTARI menjadi benteng ideologis yang penting bagi peserta didik.
Jangankan terlibat radikalisme atau terorisme, kini di lingkungan sekolah dan pesantren tidak ada prilaku perundungan (bullying).
Keempat, MENTARI membantu mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Ketika siswa membaca berbagai jenis bacaan—baik fiksi maupun nonfiksi—mereka belajar melihat suatu isu dari berbagai perspektif.
Proses ini mendorong mereka untuk bertanya, menganalisis, dan membuat penilaian yang didasarkan pada pemahaman.
Kemampuan berpikir kritis sangat penting di era informasi yang rentan dengan hoaks dan manipulasi.
Melalui program ini, siswa belajar menjadi pembaca yang aktif, bukan pasif, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang menyesatkan.
Kelima, gerakan ini juga memiliki dimensi pembentukan karakter. Melalui kegiatan membaca yang teratur, siswa belajar disiplin, teliti, dan tekun.
Buku-buku yang mereka baca pun menjadi media pembentukan nilai-nilai moral seperti kejujuran, empati, rendah hati, dan rasa tanggung jawab.
Di sekolah dan pesantren Muhammadiyah, pembentukan karakter adalah bagian integral dari proses pendidikan. MENTARI hadir sebagai metode yang efektif dalam menginternalisasi nilai-nilai tersebut secara alami dan menyenangkan.
Selain itu, program MENTARI juga berperan dalam meningkatkan kecakapan literasi digital. Banyak sekolah dan pesantren Muhammadiyah kini memadukan kegiatan membaca dengan pemanfaatan e-book, perpustakaan digital, atau artikel daring.
Hal ini membantu siswa memahami bagaimana menggunakan teknologi secara bijak, menilai kredibilitas sumber informasi online, dan menghindari konten berbahaya.
Literasi digital ini sangat penting untuk membekali siswa menghadapi tantangan dunia maya yang kompleks.
Akhirnya, MENTARI menciptakan lingkungan sekolah dan pesantren yang berbudaya ilmu. Ketika seluruh warga sekolah—kepala sekolah, guru, ustaz/ustazah, hingga siswa/santri—terlibat dalam budaya membaca, suasana belajar menjadi lebih kondusif, dialogis, dan intelektual.
Lingkungan seperti ini mendorong pertumbuhan ide-ide baru dan membentuk identitas sekolah atau pesantren sebagai pusat pencerahan.
Kehadiran program MENTARI memperkuat peran Muhammadiyah dalam membangun generasi yang unggul secara intelektual, matang secara spiritual, dan kuat secara karakter.
MENTARI bukan hanya gerakan literasi, tetapi juga fondasi penting dalam mempersiapkan generasi berkemajuan yang siap berperan dalam masa depan bangsa.
Terorisme di kalangan generasi Z adalah ancaman nyata yang diperkuat oleh dinamika digital dan rendahnya budaya literasi.
Namun, dengan memperkuat kemampuan literasi digital, informasi, kritis, dan budaya, generasi Z dapat memiliki ketahanan mental yang kokoh untuk menolak propaganda ekstrem.
Budaya literasi bukan hanya alat pengetahuan, tetapi benteng peradaban. Ketika generasi muda mampu membaca dunia dengan kritis, propaganda kebencian tidak akan lagi menemukan tempat subur untuk tumbuh.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Radikalisme Gen-Z dan Budaya Literasi
/data/photo/2019/10/14/5da42c1f371ba.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)