TRIBUNNEWS.COM – Rusia tidak memiliki rencana untuk mengevakuasi sekutunya, Presiden Suriah Bashar Al-Assad, yang sedang menghadapi oposisi bersenjata yang mengancam akan menggulingkannya.
“Rusia tidak punya rencana untuk menyelamatkan Assad dan tidak melihatnya muncul selama tentara presiden Suriah terus meninggalkan posisinya,” kata sumber yang dekat dengan Kremlin kepada Bloomberg, Jumat (6/12/2024).
Sumber tersebut mengatakan Presiden Rusia Vladimir Putin muak dengan laporan pasukan Suriah di bawah rezim Assad telah melarikan diri dari posisi mereka, sehingga kelompok pemberontak dapat menguasai kota-kota penting.
Sementara itu, keluarga Bashar al-Assad ternyata telah melarikan diri ke Rusia beberapa hari setelah pasukan pemberontak melancarkan serangan mendadak yang merebut sebagian besar wilayah di Suriah utara.
“Asma al-Assad, istri presiden Suriah yang lahir di Inggris, melarikan diri bersama ketiga anak mereka minggu lalu,” menurut laporan Wall Street Journal, mengutip pejabat keamanan Suriah dan pejabat Arab.
“Kedua saudara ipar Assad juga telah meninggalkan Suriah dan melakukan perjalanan ke Uni Emirat Arab,” kata sumber itu.
Tidak jelas apakah Presiden Suriah Bashar Al-Assad tetap berada di negaranya.
Sebuah saluran berita TV pro-Assad mengatakan presiden itu telah melakukan perjalanan ke Iran, tetapi kemudian membantah laporannya sendiri.
Sementara itu, pejabat Mesir dan Yordania dikabarkan mendesak Presiden Bashar Al-Assad untuk meninggalkan Suriah dan membentuk pemerintahan di pengasingan.
Perang saudara di Suriah kembali memanas setelah kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan militan sekutunya menyerbu kota Aleppo pada Rabu (27/11/2024).
Mereka berhasil menembus pertahanan militer Suriah dan mengklaim berhasil merebut kota Aleppo, Idlib, Hama dan kini bersiap merebut Homs, sebelum menuju ke Damaskus.
Perang Saudara di Suriah
Perang saudara di Suriah dimulai pada tahun 2011 ketika rakyat Suriah berdemonstrasi menuntut diakhirinya kekuasaan keluarga Bashar al-Assad dari Partai Ba’ath selama puluhan tahun.
Ayah Bashar, Hafez al-Assad yang berkuasa selama 29 tahun, mempersiapkannya untuk menjadi Presiden Suriah selanjutnya.
Bashar al-Assad diyakini sebagai pengganti kakaknya, Bassel al-Assad yang seharusnya menjadi calon penerus ayahnya, meninggal dunia pada tahun 1994 karena kecelakaan.
Rezim Hafez kemudian merevisi aturan usia calon presiden sehingga Bashar al-Assad dapat mencalonkan diri pada pemilu tahun 2000, menyusul kematian Hafez al-Assad.
Setelah 11 tahun berkuasa, protes pecah pada tahun 2011 untuk menuntut pengunduran diri Bashar Al-Assad.
Kekerasan meningkat ketika pasukan keamanan Suriah menembaki para demonstran, menewaskan sejumlah orang.
Kelompok pemberontak, HTS dan faksi lainnya yang didukung Turki, muncul mengambil peran untuk meruntuhkan kekuasaan Bashar Al-Assad.
Iran melakukan intervensi militer di Suriah pada tahun 2012, setelah memberikan bantuan politik dan logistik pada tahun sebelumnya.
Pada tahun 2015, Rusia secara militer membantu Assad merebut kembali sebagian besar negara dari HTS, Negara Islam (IS, sebelumnya ISIS), dan puluhan kelompok bersenjata yang didukung Amerika Serikat (AS).
Pada tahun 2016, Presiden Bashar al-Assad berhasil mempertahankan kekuasaan di Aleppo, yang merupakan kota terbesar kedua di negara itu setelah Damaskus.
Aksi saling serang antara militer Suriah dan kelompok pemberontak masih terjadi, hingga pada tahun 2020, Rusia dan Turki menengahi perjanjian gencatan senjata kedua pihak di Suriah.
Namun, pertempuran meletus lagi baru-baru ini, ketika HTS dan milisi sekutunya menyerang kota Aleppo yang dikuasai pemerintah di Suriah utara pada hari Rabu (27/11/2024) dan merebut Kota Aleppo, Idlib, Hama, hingga Homs yang direbut baru-baru ini.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)