Pseudo-Demokrasi, Demokrasi Seolah-olah di Era Soeharto…

Pseudo-Demokrasi, Demokrasi Seolah-olah di Era Soeharto…

Pseudo-Demokrasi, Demokrasi Seolah-olah di Era Soeharto…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Aktivis 1998 sekaligus anggota DPR RI, Ansy Lema, menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto.
Menurut dia,
Soeharto
justru meninggalkan warisan kelam bagi bangsa dalam bidang kemanusiaan, korupsi, dan
demokrasi
.
“Dia (Soeharto) berkuasa sampai 32 tahun, dan kekayaannya semua diambil begini. Kemiskinan luar biasa. Gap ekonomi luar biasa,” kata Ansy, dalam diskusi bertajuk #SoehartoBukanPahlawan di kawasan Matraman, Jakarta Timur, Rabu (5/11/2025).
Ansy mengatakan, penolakannya didasari tiga alasan utama. Pertama, karena melakukan kejahatan kemanusiaan.
Kedua, dugaan korupsi di era pemerintahannya. Ketiga, kejahatan demokrasi yang nyata saat Soeharto memimpin.
Ia menuturkan, selama Orde Baru, kebebasan berserikat dan berekspresi dibatasi. Organisasi masyarakat, serikat pekerja, hingga media, berada di bawah kendali pemerintah.
Menurut dia, sistem politik saat itu hanya formalitas belaka. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap tidak merepresentasikan kepentingan rakyat.
“Dalam Orde Baru ada enggak demokrasi? Ada institusi politik. DPR ada. Eksekutif ada. Legislatif ada. Yudikatif ada. Tetapi cuma pajangan. Pemilu ada? Ada. Partai politik ada? Ada. Tetapi apa? Aksesoris,” kata Ansy.
“Istilah keren yang orang politik bilang, pseudo-demokrasi. Demokrasi seolah-olah. Demokrasi prosedural yang ada. Demokrasi substansial enggak ada,” ucap dia.
Ansy juga menilai, teori pembangunan Orde Baru yang disebut
trickle down effect
tidak pernah benar-benar terjadi.
Dia menuturkan, pertumbuhan ekonomi hanya menguntungkan segelintir orang dekat kekuasaan.
“Kekayaan pertumbuhan ekonomi ini dicuri dan terkumpul di tangan segelintir orang yang dekat dengan kekuasaan. Yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin,” kata dia.
Ia menilai, seseorang layak disebut
pahlawan
bila memiliki integritas dan nilai moral. Ansy menekankan bahwa indikator tersebut tidak dimiliki oleh Soeharto.
“Ada demokrasi zaman Orde Baru? Tidak. Ada penghormatan terhadap hak asasi manusia? Tidak. Ada transparansi dan akuntabilitas? Tidak,” tegas dia.
Dalam kesempatan ini, Ansy turut menyoroti upaya penulisan ulang sejarah Orde Baru yang dinilainya berpotensi menghapus jejak pelanggaran masa lalu.
“Itu mau dihilangkan kejahatan-kejahatan korupsi, kemanusiaan, dan kejahatan demokrasi di era Orde Baru. Supaya upaya menjadikan Soeharto pahlawan bisa lolos,” kata dia.
Tidak sampai di situ, Ansy juga menyinggung sebagian mantan aktivis 1998 yang kini berpihak pada kekuasaan.
Padahal, kekuatan rakyat bersatu luar biasa untuk menggulingkan Soeharto dari kekuasaan.
“Gue heran kalau ada aktivis 98 dulu teriak lawan Soeharto, hari ini kok tiba-tiba bisa dukung,” ucap dia.
Di sisi lain, Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon menyatakan, Soeharto memenuhi syarat mendapat gelar pahlawan nasional.
Hal itu disampaikan usai Fadli melaporkan 49 nama calon pahlawan nasional kepada Presiden Prabowo Subianto, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
“Tentu dari kami, dari tim GTK ini, telah melakukan juga kajian, penelitian, rapat ya, sidang terkait hal ini. Jadi, telah diseleksi tentu berdasarkan, kalau semuanya memenuhi syarat ya, jadi tidak ada yang tidak memenuhi syarat. Semua yang telah disampaikan ini memenuhi syarat,” kata Fadli.
Ia menegaskan, Soeharto telah melalui seluruh tahapan penilaian, mulai dari usulan masyarakat di tingkat kabupaten/kota hingga pemerintah provinsi.
“Dari TP2GP yang di dalamnya juga, di dalam TP2GP juga akan ada sejarawan, ada macam-macam tuh orang-orangnya di dalam itu, ada sejarawan, ada tokoh agama, ada akademisi, ada aktivis, ya, kemudian di Kementerian Sosial dibawa ke kami. Jadi, memenuhi syarat dari bawah,” ujar dia.
Menurut Fadli, nama Soeharto bahkan telah diusulkan sebanyak tiga kali.
“Nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan ya. Dan juga beberapa nama lain, ada yang dari 2011, ada yang dari 2015, semuanya yang sudah memenuhi syarat,” tutur dia.
Fadli kemudian memerinci jasa Soeharto yang dinilai layak mendapat penghargaan negara, di antaranya kepemimpinan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
“Serangan Umum 1 Maret itu salah satu yang menjadi tonggak Republik Indonesia itu bisa diakui oleh dunia, masih ada. Karena Belanda waktu itu mengatakan Republik Indonesia sudah
cease to exist
, sudah tidak ada lagi,” ujar dia.
Selain itu, lanjut Fadli, Soeharto juga memiliki peran penting dalam operasi pembebasan Irian Barat dan berbagai operasi militer lainnya.
“Pembebasan Irian Barat dan lain-lain. Jadi ada, ada rinciannya. Nanti rinciannya kalau mau lebih panjang nanti saya berikan,” kata dia.
Sebelumnya, pemerintah diketahui tengah menggodok 40 nama calon pahlawan nasional.
Beberapa di antaranya adalah Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dan aktivis buruh Marsinah.
Namun, wacana pemberian gelar kepada Soeharto menuai penolakan dari berbagai pihak. Sebanyak 500 aktivis dan akademisi menyatakan menolak rencana tersebut.
Di sisi lain, dukungan datang dari Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia. Ia menilai, jasa Soeharto sangat besar bagi bangsa dan negara.
“Kami juga tadi melaporkan kepada Bapak Presiden selaku Ketua Umum DPP Partai Golkar. Saya bilang, Bapak Presiden, dengan penuh harapan, lewat mekanisme rapat DPP Partai Golkar kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional,” kata Bahlil, usai menemui Prabowo di Istana Kepresidenan, Senin (3/11/2025).
Menurut Bahlil, Soeharto adalah tokoh penting di balik kebangkitan ekonomi Indonesia dan dikenal sebagai “Macan Asia” pada masa Orde Baru.
“Soeharto juga merupakan pendiri Partai Golkar dan sudah menjabat sebagai Presiden RI selama lebih dari 30 tahun,” ucap dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.