Proyeksi BRIN 2026: Kelas Menengah Berkurang, Rojali Makin Banyak

Proyeksi BRIN 2026: Kelas Menengah Berkurang, Rojali Makin Banyak

Bisnis.com, JAKARTA —  Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia berisiko turun kembali pada 2026, salah satunya karena oleh informalisasi pekerjaan yang makin marak di angkatan kerja Tanah Air.

Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN Pihri Buhaerah menyebut bahwa kelas menengah sebagai masyarakat yang pendapatan dan pekerjaannya berada di tingkat menengah.

“Pekerjaan menengah itu seperti apa? Ya, kita bisa lihat di struktur ekonomi, yaitu adalah sektor-sektor yang berbasis inovasi, seperti itu. Jadi inovasi [dan] teknologi,” ujar Pihri dalam Seminar Economic Outlook 2026 BRIN di Jakarta, Jumat (19/12/2025).

BRIN berpandangan bahwa akan semakin banyak pekerja Indonesia yang masuk ke sektor informal. Perkiraan tersebut mengacu pada data peningkatan pencari kerja dan jumlah angkatan kerja yang putus asa serta data pergeseran sektor kerja yang diolah BRIN.

Pihri menyebut perubahan sektor pekerjaan ke arah industri tersier atau jasa dan menurunnya sektor industri manufaktur menjadi faktor yang menekan jumlah kelas menengah. Bertambahnya jumlah pekerja informal membuat mereka tidak memiliki penghasilan tetap dan kerap tidak terlindungi jaring pengaman sosial, sehingga mereka menjadi sangat rentan.

Menurut Pihri, terdapat cara untuk meningkatkan jumlah masyarakat kelas menengah, yang bisa berefek positif terhadap ekonomi makro. Dia bahwa menyebut pemerintah perlu memperkuat kembali industri manufaktur teknologi menengah ke atas.

“Kemudian, yang kedua, dari sisi pekerjaannya, pemerintah harus menciptakan juga middle income job, bukan basic job,” jelas Pihri.

Untuk menciptakan pekerjaan dengan pendapatan menengah, dia melihat bahwa harus ada kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta. Menurutnya, ketika ekonomi melemah, pihak swasta tidak akan meningkatkan permintaan tenaga kerjanya karena pasar memerlukan hasil luaran (output) yang lebih tinggi untuk melakukan permintaan tersebut. Oleh karena itu, jika pengusaha menganggap bahwa dengan pasar yang ada tenaga kerja sudah terpenuhi, tenaga kerja tambahan tidak akan direkrut.

“Jadi, untuk 2026, karena kondisi kita ini, menurut saya, ada sedikit pelemahan daya beli, pemerintah harus menciptakan di sektor publik pekerjaan-pekerjaan di sektor menengah, seperti pegawai negeri sipil,” terang Pihri.

BRIN melihat bahwa daya beli masyarakat memang sedang menurun hingga muncul fenomena “rojali” atau rombongan jarang beli. Pihri menyebut bahwa fenomena rojali merupakan tanda adanya spiral deflasi, yaitu kondisi ketika harga-harga yang menurun membuat ekonomi menyusut sehingga upah/gaji menurun dan pemutusan hubungan kerja (PHK) meningkat, yang pada akhirnya membuat harga semakin turun.

Pihri mengungkap bahwa sektor riil merespons kondisi ekonomi rojali dengan memberikan diskon/potongan harga. Ketika diskon diberlakukan dan pembelian produk tetap jarang dilakukan, dia menyebut perusahaan akan melakukan PHK.

“Jadi, fenomena rojali itu sebenarnya adalah cerita pertengahan dari fenomena spiral deflasi,” tutup Pihri. (Laurensius Katon Kandela)