Bisnis.com, Jakarta — Dorongan penguatan insentif, seperti biaya listrik yang terjangkau, menjadi sorotan dalam upaya Indonesia mempercepat pengembangan Kecerdasan Artifisial (KA).
Senior Vice President Regulatory and Government Affairs PT Indosat Tbk, Ajar A. Edi menilai insentif memegang peranan penting dalam mendorong sektor swasta berinvestasi membangun infrastruktur KA di Tanah Air.
“Salah satu cara untuk boost agar swasta mau masuk adalah melalui insentif. Insentif itu sendiri bentuknya beragam,” ujar Ajar, dalam acara Editor Meeting dengan tema “Menjelajahi Peta Jalan Kecerdasan Artificial Nasional, Pijakan Untuk Berdikari?” Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Menurutnya, agar sektor swasta tertarik membangun infrastruktur AI, diperlukan kombinasi kebijakan regulasi yang jelas dan insentif yang tepat sasaran.
Beberapa insentif yang dinilai krusial antara lain harga energi yang kompetitif, mengingat pengembangan AI membutuhkan daya listrik besar, terutama untuk operasional pusat data.
“AI itu butuh daya besar, sehingga tarif listrik untuk data center seharusnya bisa dibuat lebih murah dibandingkan negara lain,” jelasnya.
Selain itu, Ajar juga menyoroti pentingnya keringanan pajak impor untuk perangkat yang belum dapat diproduksi di dalam negeri, seperti GPU, server, dan perangkat pendukung data center.
Perlunya kemudahan visa serta kebijakan pemulangan diaspora talenta AI agar para ahli Indonesia yang bekerja di luar negeri bersedia kembali dan berkontribusi dalam pengembangan teknologi nasional.
Ajar meyakini bahwa pemberian insentif yang tepat tidak hanya mendorong investasi, tetapi juga berkontribusi terhadap pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 8%.
“Semakin kuat infrastrukturnya, insentif diberikan, konektivitas dibenahi, lalu kampus dan ekosistemnya digroom, saya yakin ini bisa menutupi gap menuju pertumbuhan ekonomi 8%,”
Tantangan Indonesia untuk mewujudkan Kecerdasan Artificial Nasional
Ajar mengakui pengembangan AI di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan.
Infrastruktur data center dan GPU dinilai masih terbatas, sementara minat investasi swasta relatif rendah karena belum adanya insentif yang menarik, seperti keringanan pajak atau harga energi yang kompetitif.
Di sisi lain, ketersediaan talenta lokal juga belum memadai, dan banyak diaspora AI yang belum difasilitasi secara optimal untuk kembali ke Indonesia.
Ajar juga menyoroti lemahnya kedaulatan data dan infrastruktur nasional, serta belum adanya regulasi dan standar etika AI yang jelas.
Riset di perguruan tinggi dinilai belum sepenuhnya menjawab kebutuhan industri, sementara konektivitas digital masih menjadi hambatan di sejumlah wilayah.
Di tengah persaingan global, Ajar menegaskan bahwa pengembangan AI menjadi agenda strategis bagi banyak negara karena dampaknya yang besar terhadap ekonomi.
“AI bisa menutup gap untuk forecast economic growth 8%. Ekonomi AI itu nyata.”
Pentingnya komitmen kuat dari pemerintah untuk memastikan pembangunan ekosistem AI berjalan berkelanjutan.
“Kalau pemerintah punya komitmen terhadap data sovereignty, infrastructure sovereignty, dan model sovereignty, itu tiga hal kritikal yang harus dibangun.”
Tanpa komitmen pemerintah yang kuat serta kolaborasi lintas sektor antara negara, industri, dan akademisi, Indonesia dinilai akan menghadapi tantangan besar dalam membangun ekosistem AI yang mandiri dan mampu bersaing di tingkat global. (Nur Amalina)




:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5449499/original/007512200_1766066033-Infranexia.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4066834/original/034753100_1656461868-Harga_Minyak_AFP.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)