Pemerasan ini bisa menjadi pintu masuk mengungkap sesuai yang salah dalam tubuh polisi secara kelembagaan. Sejauh ini perilaku memeras oleh oknum polisi sudah terlalu banyak diungkap masyarakat. Tindakan sanksi juga sudah diambil. Namun hal itu nyatanya terus berulang, seolah tak pernah berhenti. “Saya melihat ada semacam kebiasaan yang dinormalisasi atau dianggap normal. Tiap kali masyarakat berurusan dengan polisi, yang dipikirkan pertama adalah menyuap. Ini adalah gejala yang tidak sehat,” katanya.
Saat ini jumlah polisi di Indonesia sejatinya sudah mendekati angka ideal. Yakni 1:213. Idealnya rasio perbandingan adalah 1:225. Artinya satu orang polisi mengawasi dan melayani 225 warga. Namun jumlah besar ini menjadi sia-sia karena ulah oknum-oknum yang justru memperburuk citra Kepolisian yang beberapa peristiwa telah terungkap melibatkan oknum polisi nakal. “Mari kita sportif melihat lingkungan para polisi. Adakah yang mengutamakan hidup bermewah-mewah dan menjadikan temannya iri? Jangan sampai ada anggapan dan stigma adanya lahan basah dan kering di polisi,” katanya.
Dalam catatannya, para polisi yang melanggar dan terlibat pemerasan selalu dari satuan yang sama. Angka tertinggi memang berasal dari Satlantas atau Satuan Lalu Lintas. Seiring berbagai kebijakan yang membatasi interaksi polisi lalu lintas dengan masyarakat berkaitan pelanggaran lalu lintas maka angkanya juga turun.
Untuk itu, Prof Henry mengapresiasi Pimpinan Polri telah mengandalkan digitalisasi dalam kinerja Satlantas dalam pelayanan terkait pembuatan SIM maupun pelanggaran tilang yang tidak melibatkan anggota secara langsung. Tetapi memakai E-tilang atau denda tilang elektronik. Sementara itu Satuan Reserse dan Kriminal yang terbagi dalam Reskrimum dan Reskrimsus serta Resnarkoba juga selalu disorot publik. “Saya khawatir kalau ada tindakan rekayasa khususnya dalam satuan narkoba, bisa jadi itu bagian dari skenario pemerasan,” katanya.
Idealnya Kapolri mengevaluasi secara menyeluruh catatan publik ini. Mulai dari rekruitmen yang mungkin masih ada suap menyuap, pembinaan harian, hingga penegakkan aturan. Seperti diketahui kasus ini dapat terungkap berawal Ilham (26), bukan nama sebenarnya, warga negara Malaysia, menjadi korban dugaan pemerasan oleh oknum polisi saat menghadiri DWP 2024 di Jakarta International Expo Kemayoran.
Saat menyaksikan penampilan Steve Aoki, Ilham ditarik oleh seseorang yang mengaku polisi dan diminta mengikuti pemeriksaan. Paspor Ilham ditahan dengan alasan pemeriksaan administrasi, dan ia diminta menjalani tes kesadaran. Namun, paspornya tidak dikembalikan hingga rekannya yang juga memberikan uang Rp 200 ribu kepada oknum polisi tersebut. Setelah itu, paspor Ilham baru dikembalikan. Kabar yang beredar total pemerasan tersebut menghasilkan angka yang fantastis, mencapai Rp 32 miliar.