JAKARTA – Anas Syahrul Alimi, Founder Prambanan Jazz Festival, buka suara setelah gelaran tahunan yang baru saja rampung itu mendapat kritik karena dinilai tidak mengakomodir para musisi jazz untuk tampil.
Lewat pernyataan panjang di media sosial, Anas mencoba menjelaskan pembelaannya kepada para pengkritik, yang disebutnya bersembunyi di balik akun anonim atau komentar penuh nyinyir.
“Maka izinkan saya, sebagai promotor yang sering dituduh ‘menyulap candi jadi panggung pop’, untuk menyampaikan pledoi. Tapi tenang, saya tidak akan membawa saksi ahli. Saya hanya membawa kenangan dan sedikit satire,” kata Anas, mengutip keterangan unggahan, Kamis, 10 Juli.
Jazz, menurut Anas, bukan hanya soal improvisasi nada dan akor, tapi juga improvisasi konteks. Jazz adalah keberanian melawan pakem, bukan sekadar menuruti textbook di rak yang penuh debu.
“Maka jika kami menghadirkan Kenny G, itu bukan karena kami tak mengerti Coltrane. Tapi karena Kenny G pernah jadi mimpi anak-anak 90-an yang menggantungkan poster saksofon di tembok kamar sambil berharap bisa menyatakan cinta dengan nada-nada tinggi,” ujar Anas.
“Dan kalau kami menghadirkan Kahitna, Raisa, atau bahkan musisi Korea-Amerika, itu bukan karena kami lupa sejarah jazz, tapi karena kami ingin menciptakan pertemuan lintas generasi, lintas genre, dan lintas hati,” sambungnya.
Dia mengatakan, Prambanan Jazz bukan kamus, melainkan ruang tamu di mana musik bertukar cerita, dan bukan bertarung gengsi.
“Mereka yang menggugat festival ini karena ‘kurang jazz’ sesungguhnya bukan sedang membela jazz. Mereka sedang kehilangan selera humor. Dan sayangnya, selera humor itulah yang paling dibutuhkan untuk memahami jazz dan hidup di negeri ini,” tuturnya. “Maka izinkan Prambanan Jazz terus berdansa di antara nada dan legenda. Biarkan Candi Prambanan menjadi saksi bahwa musik tak pernah lahir untuk dikotak-kotakkan. la lahir untuk menyatukan.
Lebih lanjut, Anas memberi contoh beberapa festival jazz dunia, di mana tidak semua line up berisi musisi jazz, antara lain John Legend di North Sea Jazz, Prince dan Radiohead di Montreux Jazz Festival, hingga Sting di Umbria Jazz Festival.
Dengan mengutip Miles Davis yang mengatakan “jazz sebagai payung besar”, Anas memberi contoh di mana para musisi jazz juga menjelajah ke luar pakem.
“Riset akademik dari Bennett (2012) hingga Turino (2018) menyebut festival musik sebagai ritual budaya dan ekonomi, bukan hanya altar estetika. Festival modern menampung kerja-kerja kolektif: dari pengelola parkir, vendor tenda, juru kamera, desainer lampu, hingga UMKM sosis bakar. Mereka semua bagian dari sustainability map yang menentukan umur panjang festival,” kata sang promotor.
“Maka jika kami mengundang musisi pop ke panggung jazz, itu bukan pengkhianatan. Itu siasat agar festival ini hidup dan semua yang hidup di baliknya tetap makan. Kami tidak sedang membela. Hanya mencatat: bahwa menjaga keutuhan ekosistem kadang butuh kompromi. Dan kompromi bukan dosa—selama dilakukan dengan cinta dan kesadaran etis.”
Pada akhir pernyataannya, Anas memastikan dirinya tetap menaruh hormat pada musik jazz, namun ada hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan dan diberi apresiasi.
“Kami tetap menghormat pada jazz. Tapi kami juga menghormat pada listrik yang menyala, pada nasi kotak crew, pada soundman yang belum tidur 32 jam, dan pada kalian yang datang dari luar kota dengan harapan menemukan sedikit kebahagiaan. Karena itu, sekali lagi: Maafkan kami yang selalu bersalah setiap Juli. Tapi izinkan kami terus bertahan, agar tahun depan kita bisa bersalah bersama-sama,” pungkasnya.
