Bisnis.com, JAKARTA – Indonesia kembali kehilangan salah satu figur filsafatnya. Fransiskus Xavierius Mudji Sutrisno, S.J., atau yang akrab dipanggil Romo Mudji meninggal dunia pada hari Minggu (28/12/2025) pukul 20.43 di RS Carolus Jakarta.
Kabar duka tersebut disampaikan langsung oleh Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignasius Suharyo pada Senin (29/12) pagi.
Rohaniwan Katolik sekaligus pemerhati masalah sosial budaya dan ahli filsafat tersebut wafat pada usia 71 tahun akibat sakit yang dideritanya. Misa Requiem untuk almarhum akan dilakukan pada 29 dan 30 Desember di Kapel Kolese Kanisius dan akan dikebumikan di Taman Maria Ratu Damai, Girisonta, Semarang pada 31 Desember 2025.
Romo kelahiran Surakarta, 12 Agustus 1954 ini berasal dari keluarga yang kental dengan budaya jawa dan nilai nasionalisme. Kedekatannya dengan Gereja Katolik juga membawanya untuk memenuhi panggilan membiara dengan menempuh pendidikan di Seminari Menengah Mertoyudan.
Ketertarikannya pada dunia filsafat ditekuninya dengan mendalami ilmu filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta. Tidak hanya disitu, Romo Mudji juga melanjutkan pendidikan filsafatnya hingga perguruan tinggi di doktoral filsafat Universitas Kepausan Gregoriana, Roma, pada 1986.
Romo Mudji juga tercatat sempat mendalami studi agama dan seni di Summer Course Religion and Art Ichigaya Sophia, Universitas of Tokyo, Jepang pada 1990.
Salah satu hal yang menarik dari Romo Mudji saat untuk menjadi aktif di dunia politik Indonesia. Romo Mudji bergabung sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia tahun 2001-2003. Hal tersebut menunjukkan kepeduliannya terhadap kehidupan bernegara, karena memperkaya etika demokrasi Indonesia yang baru lahir ke dunia reformasi. Romo Mudji menekankan bahwa demokrasi bukan sekadar tatacara kehidupan, melainkan praktek moral yang butuh kejujuran dan memperhatikan yang lemah.
Setelah mundur dari kepengurusan KPU, Romo Mudji sepenuhnya aktif di dunia akademisi. Romo Mudji dikenal sebagai Guru Besar STF Driyarkara dan mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia, serta mengajar kesenian di Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Karena kepeduliannya yang tinggi terhadap budaya Indonesia, Romo Mudji pernah bergabung dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan pada 2005-2006, serta menjadi tim penilai Penghargaan Kebudayaan Presiden RI.
Melansir beberapa sumber, Romo Mudji dikenal dengan berbagai karya sastra, dan pameran tunggal sketsanya. Almarhum aktif menulis sejak tahun 1983 hingga akhir hayatnya. Beberapa karyanya yang terkenal di antaranya Sunyi Yang Berbisik, Rekah Puisi, Tu(l)ah Kata, Ziarah Anggur, Oase Estetis, Sejarah Filsafat Nusantara, Ranah Filsafat & Kunci Kebudayaan, Krisis Peradaban, Hermeneutika Pascakolonial, dan lain-lain.
Beberapa pameran sketsa milik Romo Mudji yang terkenal seperti “Kumandang ing Sepi”, “Dari Gereja ke Gereja”, dan “Speak up”. Karya-karya yang lahir dari tangan dan pemikiran Romo Mudji memiliki ciri khas penggabungan antara filsafat, seni, dan Iman.
Sebagai Imam dan warga negara Indonesia, Romo Mudji sangat rajin dan gigih dalam merawat bangsa Indonesia yang sangat majemuk latar masyarakatnya. Romo Mudji sering turut dalam berbagai kegiatan dialog lintas agama untuk semakin memahami satu sama lain, sehingga tidak terbatas hanya dalam ranah agama Katolik.
Kepergiannya meninggalkan banyak warisan filsafat yang tidak sedikit. Meskipun Indonesia kehilangan salah satu warisan hidup, banyak karyanya terus hidup dan mengingatkan bahwa iman dapat hadir dan dikuatkan lewat seni dan kehidupan sehari-hari.
