Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mengkritik rencana pengenaan cukai terhadap produk popok (diapers) yang disebut masuk dalam kerangka kebijakan fiskal nasional.
Ketua Umum APKI, Liana Bratasida mengatakan bahwa industri popok merupakan bagian penting dari rantai pasok sektor pulp dan kertas nasional. Kebijakan ini berpotensi menambah tekanan pada industri sekaligus membebani masyarakat.
Menurut dia, masalah lingkungan yang menjadi dasar wacana pengenaan cukai tersebut tidak hanya dapat diselesaikan lewat pengenaan biaya tambahan.
“Masalah utama bukan pada produknya, tetapi pada perilaku masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempatnya. Cukai tidak akan mengubah perilaku tersebut,” kata Liana dalam keterangan tertulis, Jumat (21/11/2025).
Dia menerangkan bahwa sektor ini berkontribusi 3,92% terhadap PDB nonmigas serta menghasilkan devisa ekspor lebih dari US$8 miliar pada 2024. Namun, saat ini kondisi industri diapers juga belum sepenuhnya pulih.
Dari 17 pabrik diapers di Indonesia dengan kapasitas terpasang 17,90 miliar pieces, produksi aktual pada 2023 tercatat hanya 16,47 miliar pieces. Kebutuhan nasional pada 2024 mencapai 13,1 miliar pieces.
Dengan kondisi ini, secara kapasitas industri sebenarnya mampu memenuhi pasar, namun sejumlah produsen tetap tertekan oleh tingginya biaya produksi serta persaingan pasar yang ketat.
“Beberapa pabrik sudah tutup karena tingginya biaya produksi dan persaingan pasar. Jika ditambah beban cukai, harga pasti naik dan pasokan bisa semakin turun,” ujarnya.
Untuk diketahui, pemerintah menyatakan bahwa rencana cukai diapers ini selaras dengan target penanganan sampah laut sebagaimana diatur dalam PP 83/2018.
Produk diapers disebut sebagai penyumbang sampah terbanyak kedua di laut pada 2017, mencapai 21 persen, dan dianggap memiliki tingkat daur ulang yang rendah karena mengandung berbagai material sintetis yang mencemari lingkungan.
Namun, dia menilai pendekatan tersebut kurang tepat. Sebab, persoalan besarnya volume sampah diapers yang berakhir di laut lebih disebabkan oleh pengelolaan sampah yang belum optimal, bukan semata pada karakteristik produknya.
“Solusinya adalah memperbaiki sistem pengelolaan sampah serta mengedukasi masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan,” tegasnya.
Di sisi lain, industri diapers di Indonesia juga telah disebut telah berkolaborasi dengan industri semen untuk memanfaatkan limbah diapers sebagai bahan substitusi energi biomassa. Langkah ini turut mendukung pengurangan sampah dan memperkuat prinsip ekonomi sirkular di sektor industri.
APKI juga menegaskan bahwa diapers bukanlah produk plastik murni, melainkan terdiri dari berbagai material seperti pulp, SAP, PE film, nonwoven PP, latex atau spandex, serta lem berbasis rubber. Komponen plastik di dalamnya sudah masuk dalam cakupan kebijakan cukai plastik yang tengah disiapkan pemerintah.
Dengan demikian, Liana menyebut penerapan cukai atas diapers berpotensi menimbulkan double taxation yang pada akhirnya mengurangi daya saing produk dalam negeri.
Selain itu, diapers dewasa dikategorikan sebagai alat kesehatan berdasarkan izin edar Kementerian Kesehatan. Kebijakan cukai dikhawatirkan dapat menghambat upaya pemerintah mendorong peningkatan produksi alat kesehatan dalam negeri.
APKI juga menilai bahwa kebijakan cukai harus mempertimbangkan tidak hanya pada kondisi industri, namun juga dampaknya terhadap konsumen.
“Jika harga naik, konsumsi turun, pekerja ikut terdampak, dan kontribusi industri terhadap penerimaan negara bisa berkurang. Kebijakan harus mempertimbangkan keseimbangan antara aspek lingkungan, industri, serta kepentingan publik,” jelasnya.
APKI menegaskan komitmennya untuk mendukung pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang tepat sasaran, efektif, dan berkeadilan. APKI berharap pemerintah segera melakukan reassessment terhadap rencana ini dengan melihat kondisi industri dan kebutuhan masyarakat secara menyeluruh.
“Kami mendukung upaya pemerintah memperbaiki pengelolaan lingkungan. Namun kebijakan baru tetap harus melihat realitas di lapangan agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan banyak pihak,” pungkasnya.
