Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) meminta pemerintah untuk memberikan pembebasan pajak bagi industri petrokimia sehingga bahan baku untuk produksi di hilir lebih murah.
Sekjen Aphindo Henry Chevalier mengatakan, saat ini harga bahan baku plastik dari produk petrokimia dalam negeri terkendala harga yang lebih tinggi 20%-30% dibandingkan produk bahan baku yang diimpor.
“Berikanlah free tax buat industri petrokimia ini agar kami bisa menyerap bahan baku yang murah dan menciptakan produk jadi plastik yang murah sehingga mampu bersaing dengan produk-produk jadi yang masuk di Indonesia,” kata Henry dalam Bisnis Indonesia Forum: Dukungan Pemerintah Baru Genjot Manufaktur Petrokimia, Kamis (21/11/2024).
Usulan tersebut disampaikan Henry dihadapan perwakilan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian. Dia mengeluhkan harga bahan baku yang lebih tinggi dari harga regional.
Dengan pembebasan pajak, dia pun berharap industri petrokimia tak lagi memasang harga yang tinggi sehingga dapat diserap optimal oleh industri hilir dalam negeri.
“Kalau bisa jangan dikenakan pajak supaya dia bisa jual bahan baku ke hilir itu murah, paling tidak nggak usah murahlah, samalah dengan harga regional,” tuturnya.
Senada, Sekjen Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menyebutkan bahwa proporsi bahan baku petrokimia yang termahal yaitu naphta. Terlebih, refinery naphtha saat ini 80%-95% digunakan untuk BBM, sementara 5%-6% untuk petrokimia.
Di sisi lain, pihaknya juga terganggu dengan harga gas industri yang saat ini di atas US$10 per MMbtu. Hal ini yang membuat harga bahan baku dalam negeri tidak kompetitif dengan harga bahan baku di negara lain.
“Saat ini di dunia harga naphta itu mahal sekali sehingga petrokimia yang bertahan adalah petrokimia yang terintegrasi dari crude oil sampai ke polimernya dan Indonesia hanya satu yang punya adalah Pertamina, kalau China punya semuanya,” tutunya.