Presidential Threshold Dihapus, Ketum PBNU: MK Punya Nalar Konstitusionalnya Sendiri
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menyebut hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki penalaran tersendiri sehingga memutuskan menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 20 persen.
Gus Yahya mengatakan, masalah presidential threshold sebenarnya telah menjadi perdebatan panjang. Namun, saat ini MK mengakhiri perdebatan tersebut.
“Pasti MK di dalam membuat keputusan ini punya nalar konstitusionalnya sendiri, apa yang menurut MK lebih konstitusional,” kata Gus Yahya dalam ramah tamah dengan media di Gedung PBNU, Jakarta, Jumat (3/12/2024).
Menurut Gus Yahya, persoalan siapa yang bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden pada pemilu mendatang menjadi wewenang partai politik.
Ia memandang, saat ini aktor-aktor politik sudah memiliki pandangan tentang bagaimana bentuk konstruksi politik Indonesia ke depan sehingga bisa mewujudkan keseimbangan tuntutan demokratisasi dan efisiensi manajemen politik nasional.
“Kita tentu tidak hanya berpikir oh ini asal demokrasi dengan mengorbankan katakanlah sistem politik yang tidak efisien. Tentu tidak,” ujarnya.
Adapun jemaah Nahdlatul Ulama (NU), kata Gus Yahya, dalam hal ini hanya menjadi peserta pemilu.
Ketika mereka mendapatkan kesempatan untuk menggunakan suaranya, maka mereka akan mencoblos.
Menurut Gus Yahya, PBNU tidak memiliki kedudukan untuk membicarakan terkait putusan MK yang menghapus ambang batas presiden.
“Jadi intinya kami tidak ingin masuk ke arena yang bukan menjadi domain kami. Apa yang bisa kami sampaikan hanya pandangan umum yang mungkin memerlukan diskusi yang lebih luas di tingkat publik,” tutur Gus Yahya.
Sebelumnya, melalui putusan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 MK mengabulkan gugatan terkait aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.
Dalam putusan ini, MK menyatakan partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan calon presiden dan wakil presiden mereka.
Hakim Konstitusi Saldi Isra juga menyebut, Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 yang mengatur ambang batas pencalonan bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, sekaligus melanggar moralitas.
“Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” ujar hakim MK Saldi Isra dalam pembacaan putusan di ruang sidang MK, Jakarta, Kamis.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.