Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Prajurit di Balik Meja Demokrasi

Prajurit di Balik Meja Demokrasi

Prajurit di Balik Meja Demokrasi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
SEJARAH
punya cara tersendiri untuk berulang. Ada yang terang-terangan, ada yang samar-samar.
Di negeri ini, militer dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak pernah benar-benar terpisah.
Reformasi 1998 mengembalikan militer ke baraknya, mengukuhkan supremasi sipil, dan menutup pintu bagi prajurit aktif untuk mengisi jabatan-jabatan sipil. Namun kini, pintu itu perlahan terbuka lagi.
Pemerintah tengah mengajukan revisi Undang-Undang TNI, yang memungkinkan perwira militer menduduki jabatan sipil dengan syarat mengundurkan diri dari dinas aktif.
Alasannya sederhana: militer memiliki disiplin tinggi, pengalaman strategis, dan manajemen krisis yang bisa memperbaiki birokrasi yang lamban.
Namun benarkah ini soal efektivitas? Ataukah ini pertanda bahwa demokrasi kita mulai kehilangan arah, membuka kembali ruang yang telah ditutup oleh reformasi?
Bukan kali ini saja militer masuk ke ranah sipil. Orde Baru membangun sistem di mana militer tak hanya mengamankan negara, tetapi juga mengatur kehidupan sipil.
Dwifungsi ABRI menjadi doktrin yang melegitimasi peran ganda prajurit sebagai penjaga keamanan sekaligus pengelola negara.
Dampaknya? Birokrasi yang kaku, kepemimpinan
top-down
, dan sistem yang sulit dikoreksi karena nyaris tak ada ruang bagi pengawasan dan kritik.
Demokrasi yang kita kenal hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang untuk memisahkan kedua dunia itu.
Reformasi mengubah lanskap politik Indonesia. Militer kembali ke baraknya. Tentara tidak lagi diperbolehkan menduduki jabatan sipil, kecuali dalam posisi tertentu yang berhubungan dengan pertahanan dan keamanan. Langkah ini bertujuan mengembalikan keseimbangan dalam demokrasi kita.
Dua puluh lima tahun kemudian, apakah kita akan kembali ke pola lama?
Pendukung
revisi UU TNI
berpendapat bahwa keterlibatan militer di jabatan sipil bukanlah ancaman bagi demokrasi, melainkan solusi bagi birokrasi yang sering kali terjebak dalam korupsi dan inefisiensi.
Mereka melihat disiplin militer sebagai sesuatu yang bisa membentuk kembali mental birokrasi, menciptakan tata kelola yang lebih tegas dan berorientasi pada hasil.
Tidak ada yang meragukan bahwa militer memiliki sistem kerja yang tertib, hierarkis, dan terencana.
Namun, apakah birokrasi sipil harus berjalan seperti komando militer?
Birokrasi yang baik bukan sekadar soal kepatuhan dan efisiensi, tetapi juga soal transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Pemerintahan yang sehat tidak hanya membutuhkan kepatuhan terhadap instruksi, tetapi juga ruang bagi dialog dan perbedaan pendapat.
Ketika sistem sipil mulai diisi oleh orang-orang dengan latar belakang komando, apakah mereka akan membawa semangat demokrasi? Atau justru membawa pola pikir bahwa perintah tidak untuk diperdebatkan?
Di beberapa negara, militer tetap memiliki peran dalam pemerintahan sipil. Amerika Serikat, misalnya, mengizinkan mantan perwira militer menduduki jabatan tinggi seperti menteri pertahanan, tetapi dengan batasan ketat.
Seorang jenderal yang ingin masuk ke politik harus terlebih dahulu melewati masa tunggu yang cukup lama untuk memastikan transisi penuh ke ranah sipil.
Sebaliknya, di Thailand atau Myanmar, militer justru menjadi aktor utama yang mendikte arah pemerintahan. Campur tangan mereka dalam politik sering kali berujung pada kudeta atau pemerintahan yang dikendalikan oleh kepentingan militer.
Indonesia berada di persimpangan jalan. Jika revisi ini disahkan, kita harus bertanya: ke arah mana kita melangkah? Apakah kita akan mengikuti model Amerika yang tetap mengutamakan supremasi sipil, atau justru bergerak ke arah yang lebih berbahaya?
Mengapa wacana ini muncul sekarang? Apakah birokrasi sipil begitu lemah hingga pemerintah merasa perlu mengisi pos-pos penting dengan mantan perwira?
Ataukah ini bagian dari pola yang lebih besar—upaya mengembalikan pengaruh militer dalam politik secara perlahan?
Pertanyaan ini penting karena politik adalah soal momentum. Jika hari ini prajurit bisa masuk ke jabatan sipil dengan syarat mengundurkan diri, siapa yang bisa menjamin bahwa besok tidak akan ada revisi baru yang menghapus syarat tersebut?
Demokrasi tidak runtuh dalam satu malam. Ia perlahan-lahan terkikis oleh kebijakan kecil yang tampaknya tidak berbahaya, hingga suatu hari kita terbangun dan menyadari bahwa sistem yang kita bangun telah berubah.
Jika alasan utama revisi ini adalah inefisiensi birokrasi, maka solusinya bukan dengan membawa masuk militer, tetapi memperbaiki sistem birokrasi itu sendiri.
Reformasi birokrasi yang nyata jauh lebih penting daripada mengandalkan solusi instan yang bisa berujung pada masalah baru.
Militer memiliki peran penting dalam menjaga kedaulatan negara. Namun, peran itu harus tetap berada dalam koridor pertahanan dan keamanan, bukan merambah ke ruang-ruang sipil yang seharusnya dikelola oleh warga negara yang memahami sistem demokrasi.
Jika kita benar-benar menghargai reformasi yang telah diperjuangkan selama dua dekade terakhir, maka keputusan ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati.
Apakah kita ingin demokrasi yang lebih kuat? Atau kita ingin kembali ke masa di mana seragam lebih banyak terlihat di ruang-ruang pemerintahan?
Keputusan ada di tangan kita. Namun, satu hal yang pasti: demokrasi tidak bisa dipertahankan hanya dengan niat baik. Ia harus dijaga, dipertahankan, dan terus dikawal.
Karena jika kita lengah, kita mungkin akan kehilangan lebih banyak dari yang kita bayangkan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Merangkum Semua Peristiwa