Sederhananya, outsourcing adalah strategi bisnis di mana perusahaan menyerahkan sebagian atau seluruh tanggung jawab operasionalnya kepada pihak ketiga. Praktik ini semakin populer karena menawarkan berbagai keuntungan, namun juga menyimpan beberapa risiko yang perlu dipertimbangkan dengan cermat.
Outsourcing melibatkan pemindahan tugas-tugas tertentu, baik itu produksi, IT, atau layanan profesional, kepada perusahaan lain yang ahli di bidangnya. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk fokus pada inti bisnis mereka, mengurangi beban operasional, dan mengakses keahlian khusus yang mungkin tidak dimiliki secara internal.
Keputusan untuk melakukan outsourcing didorong oleh berbagai faktor, mulai dari efisiensi biaya hingga kebutuhan akan keahlian spesifik yang langka di pasar.
Berikut ini sejumlah aturan mengenai Outsourcing:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pasal 64 hingga 66 mengatur tentang penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing).
Pekerjaan yang bisa dialihdayakan harus bukan kegiatan pokok, dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama, dan memiliki manajemen yang berbeda dari pemberi kerja utama.
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja)
Merombak sebagian ketentuan dalam UU No. 13/2003.
Dalam praktiknya, UU ini memperluas kemungkinan outsourcing, termasuk pekerjaan inti (meski menimbulkan kontroversi). Namun, pelaksanaannya menunggu peraturan turunan.
3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021
Merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.
Mengatur lebih lanjut mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan alih daya.
Menekankan bahwa perusahaan outsourcing bertanggung jawab penuh atas hak-hak pekerja yang dipekerjakannya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5205457/original/027926700_1746084318-20250501-Prabowo_Hari_Buruh-ANG_10.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)