PIKIRAN RAKYAT – Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi 1.000 warga Gaza ke Indonesia menuai reaksi keras dari publik. Di tengah kondisi ekonomi yang memburuk dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), banyak pihak menilai langkah ini tidak tepat dan justru bertentangan dengan sikap Indonesia selama ini yang menolak relokasi warga Palestina dari tanahnya sendiri.
Rencana Evakuasi dan Latar Belakangnya
Isu relokasi warga Gaza ke negara ketiga pertama kali mencuat pada Januari 2024, ketika Israel penjajah dan Hamas mulai memasuki tahap awal proses perdamaian. Amerika Serikat, sebagai mediator utama, mendorong solusi jangka panjang dengan membangun kembali Gaza dan, sementara itu, merelokasi warganya demi alasan keamanan.
“Jika kita tidak menolong warga Gaza, jika kita tidak membuat hidup mereka lebih baik, jika kita tidak memberikan harapan, akan tetap ada pemberontakan,” ucap seorang pejabat AS kepada NBC.
Sejak saat itu, Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu tujuan relokasi. Namun, banyak pihak curiga bahwa relokasi ini hanyalah kedok Israel penjajah untuk mengusir permanen warga Palestina. Pemerintah Indonesia saat itu membantah keras terlibat dalam wacana tersebut.
“Indonesia tetap tegas dengan posisi: segala upaya untuk memindahkan warga Gaza tidak dapat diterima,” ujar Kementerian Luar Negeri.
Namun, pada 9 April 2025, Prabowo Subianto justru mengumumkan bahwa Indonesia siap menerima 1.000 warga Gaza “pada gelombang pertama”.
“Kami siap mengevakuasi mereka yang luka-luka, mereka yang kena trauma, anak-anak yatim piatu… kami siap akan kirim pesawat-pesawat untuk mengangkut mereka,” katanya.
Prabowo Subianto menyebut bahwa evakuasi hanya bersifat sementara, dengan catatan bahwa warga tersebut akan kembali ke Gaza setelah situasi membaik.
“Mereka di sini hanya sementara sampai mereka pulih sehat kembali… dan pada saat mereka pulih, mereka harus kembali ke daerah asal,” tuturnya.
Prabowo Subianto juga melakukan lawatan diplomatik ke UEA, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania untuk membicarakan rencana tersebut.
Kritik Pedas dari MUI dan Pengamat
Majelis Ulama Indonesia (MUI) langsung mempertanyakan tujuan Indonesia ikut dalam skema yang dinilai mendukung strategi Israel penjajah dan AS.
“Pertanyaannya, untuk apa Indonesia ikut-ikutan mendukung rencana Israel dan Amerika tersebut?” ujar Wakil Ketua Umum MUI, Buya Anwar Abbas.
Pengamat Timur Tengah, Smith Alhadar, menyebut bahwa Prabowo Subianto memanfaatkan situasi ketika AS dan Israel penjajah “putus asa” mencari negara tujuan bagi pengungsi Gaza, dan memakainya sebagai alat negosiasi dengan Presiden AS Donald Trump.
“Prabowo melihat ini kesempatan bagaimana bernegosiasi dengan Trump… yaitu dia mau menerima pengungsi Palestina,” katanya.
Smith Alhadar menilai, seharusnya Indonesia tidak perlu “menyerahkan masa depan Palestina” hanya demi tawar-menawar diplomatik.
“Kenapa harus tunduk pada Trump? Kenapa mempertaruhkan Palestina?” ucapnya.
Kontradiksi dengan Kepentingan Dalam Negeri
Langkah ini dinilai tidak peka terhadap situasi dalam negeri, di mana rakyat sedang menghadapi gelombang PHK, harga kebutuhan pokok naik, dan ekonomi yang melemah.
“Lebih baik pemerintah mengurus ribuan orang yang kena PHK itu bagaimana?” kata Tia Mariatul Kibtiah, pengamat Timur Tengah dari Universitas Bina Nusantara.
Menurut data UNHCR, saat ini masih ada lebih dari 12.000 pengungsi yang terkatung-katung di Indonesia tanpa kepastian. Selain itu, muncul pula gelombang penolakan terhadap pengungsi Rohingya karena alasan Indonesia tidak meratifikasi konvensi pengungsi PBB.
Smith Alhadar menilai rencana menerima pengungsi Gaza justru akan memunculkan pertanyaan besar.
“Kalau Indonesia menerima pengungsi Palestina, kenapa menolak Rohingya? Apa bedanya?” ujarnya.
Potensi Pelanggaran Konstitusi
Smith Alhadar menegaskan bahwa relokasi ini berpotensi melanggar konstitusi Indonesia, yang secara tegas menyatakan penolakan terhadap segala bentuk penjajahan.
“Kita itu punya konstitusi yang secara jelas mengamanatkan bahwa penjajahan di muka bumi ini harus dihapuskan. Sekarang, mana konstitusi yang kita pegang dari dulu?” tuturnya.
Kekhawatiran terbesar adalah jika warga Gaza tidak pernah bisa kembali karena Israel tidak memberikan jaminan tersebut. Ini akan menjadi preseden yang membahayakan perjuangan kemerdekaan Palestina.
“Sejak Israel berdiri tahun 1948, jutaan orang Palestina terusir. Tidak satu pun yang bisa kembali. Kenapa sekarang kita percaya mereka akan dikembalikan?” kata Smith Alhadar.
Solusi yang Lebih Masuk Akal
Tia menyarankan agar Indonesia lebih bijak dalam menunjukkan dukungan terhadap Palestina, seperti dengan mengirimkan tenaga medis dan bantuan kemanusiaan ke negara-negara penampung di sekitar Gaza, seperti Mesir dan Yordania.
“Tidak logis. Jarak Indonesia dan Gaza jauh. Untuk apa dirawat di sini?” ucapnya.
“Kalau memang mendukung kemerdekaan Palestina, bukan begini caranya. Negara-negara pendukung Palestina seharusnya bersatu, mendesak two-state solution,” tuturnya menambahkan, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari BBC.
‘Bukan untuk Relokasi, Kita hanya Membantu’
Di tengah kecaman terkait rencananya, Prabowo Subianto menegaskan bahwa rencana evakuasi 1.000 warga Palestina di Gaza yang terluka akibat serangan militer Israel penjajah bukan bertujuan untuk merelokasi mereka dari rumahnya.
Presiden menjelaskan rencana evakuasi itu hanya bersifat sementara. Jika situasi di Gaza kembali stabil, para penyintas perang yang dievakuasi itu nantinya akan dipulangkan kembali ke sana.
“Tidak, tidak, tidak. Kita ini untuk membantu,” kata Prabowo Subianto saat ditemui selepas menghadiri Antalya Diplomacy Forum di Kota Antalya, Turki, Jumat 11 April 2025 sore waktu setempat.
Dia mengatakan hal itu ketika menjawab pertanyaan wartawan apakah rencana evakuasi warga Palestina itu sebagai upaya merelokasi mereka ke luar Gaza. Presiden menekankan bahwa saat ini, rencana itu masih dikonsultasikan ke para pemimpin Palestina dan sejumlah pemimpin negara di kawasan Timur Tengah.
“Ya, itu tawaran kami untuk ikut serta membantu masalah kemanusiaan, penderitaan rakyat Palestina yang begitu dahsyat. Kami ingin berbuat sesuatu,” ucap Prabowo Subianto.
Akan tetapi, dia tidak menjelaskan siapa pemimpin Palestina yang akan ditemui, serta tempat dan waktunya. Dia juga belum membagikan hasil konsultasinya dengan Presiden Uni Emirat Arab (UAE) Sheikh Mohamed bin Zayed (MBZ) Al Nahyan saat keduanya bertemu di Abu Dhabi, dan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan saat bertemu di Ankara dan Antalya.
Presiden melawat ke lima negara Timur Tengah sejak Rabu 9 April 2025, di antaranya untuk berdiskusi mengenai krisis kemanusiaan di Gaza dan berkonsultasi mengenai rencana Indonesia mengevakuasi rakyat Palestina yang saat ini menjadi penyintas genosida Israel penjajah. Kelima negara itu adalah UAE, Turki, Mesir, Qatar, dan Yordania.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News