Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan pemerintah menyalurkan dana senilai Rp200 triliun ke sektor riil dipandang perlu didukung oleh kepastian regulasi, efisiensi biaya, serta stabilitas pasar di dalam negeri.
Menurut Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) Akhmad Ma’ruf Maulana, banyak industri manufaktur padat karya yang masih berhadapan dengan biaya produksi yang tinggi, mahalnya energi dan logistik, serta lemahnya kepastian hukum.
“Oleh karena itu, HKI menekankan bahwa momentum ini harus diikuti dengan sejumlah reformasi struktural yang konsisten,” kata Akhmad dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Senin (15/9/2025).
HKI kemudian memberikan sejumlah catatan terkait rencana pemberian tersebut.
Pertama, kepastian Regulasi. HKI berharap agar sinkronisasi antar kementerian/lembaga, serta koordinasi pemerintah pusat dan daerah dapat terwujud, karena hal tersebut merupakan kunci kelancaran investasi.
Kedua, efisiensi biaya perbaikan infrastruktur, biaya logistik, penurunan biaya energi, serta ketersediaan utilitas dasar yang terjangkau agar daya saing industri dapat meningkat.
Ketiga, linkage dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dalam hal ini, kata Akhmad, investasi baru harus memberi ruang bagi UMKM untuk masuk dalam rantai pasok, sehingga manfaatnya menyebar lebih luas.
Keempat, penguatan sumber daya manusia (SDM). Dunia usaha disebut memerlukan tenaga kerja vokasi dan digital yang sesuai dengan kebutuhan industri generasi baru, agar transformasi manufaktur tidak tertinggal.
“Dukungan dana sebesar ini harus mampu memperkuat daya saing industri manufaktur dan padat karya, karena keduanya memiliki multiplier effect yang luas dari penciptaan lapangan kerja, peningkatan ekspor, hingga penguatan rantai pasok nasional,” ujarnya.
Selain itu, tambah Akhmad, dana Rp200 triliun ini harus dibarengi dengan percepatan perizinan, khususnya pada proyek strategis nasional (PSN) dan investasi yang sudah siap bergerak namun masih menemui hambatan birokrasi.
Tanpa perbaikan mendasar tersebut, dana besar ini disebut berisiko hanya parkir di perbankan tanpa memberi efek riil ke dunia usaha.
