Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom memproyeksi kontraksi manufaktur masih berlanjut apabila kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% dilakukan ketat pada tahun depan.
Terlebih, kontraksi telah tercerminkan dari Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia yang 4 bulan terakhir berada di bawah ambang batas angka indeks 50.
Direktur Eksekutif Core Mohammad Faisal mengatakan, kenaikan PPN akan menambah biaya untuk produksi yang akan mengurangi tingkat profitabilitas serta mendorong kontraksi lebih panjang.
“Ini berarti berpotensi akan menekan industri manufaktur lebih lanjut lagi, karena kondisi sekarang saja kan PMI manufakturnya sudah mengalami kontraksi 4 bulan terakhir,” kata Faisal kepada Bisnis, dikutip Rabu (20/11/2024).
Dampak yang tak kalah penting memengaruhi kinerja industri yakni pelemahan permintaan akibat menurunnya daya beli konsumen. Kebijakan PPN 12% dapat memicu tingkat konsumsi masyarakat berkurang.
Tak hanya permintaan pasar yang akan menekan pesanan baru ke pabrik, stok di gudang yang tak terserap pasar juga akan menambah beban bagi industri.
“Artinya, dari sisi pelaku industri, tekanannya ini di dua sisi, jadi dalam hal peningkatan biaya produksi dan juga dalam hal berkurangnya permintaan yang artinya pembelian terhadap produk. Jadi produk-produk industri itu juga akan berkurang dari kelas menengah terutama,” ujarnya.
Untuk itu, Faisal menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pemberlakuan PPN 12%. Terlebih, peningkatan PPN juga baru dilakukan pada 2022 lalu.
“Sementara sekarang efek pandemi masih terjadi, masih ada sampai sekarang. Jadi yang terbaik adalah menunda kenaikan PPN 12% ini,” tuturnya.
Dia pun mendorong pemerintah untuk menambah insentif-insentif afirmatif di sektor-sektor terutama yang paling rentan pada saat sekarang, seperti sektor padat karya.