Polri di Tengah Tudingan “Parcok” dan Usulan Kembali Ke TNI/Kemendagri
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kepolisian Republik Indonesia (
Polri
) lagi-lagi menjadi sorotan publik. Institusi pecahan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ini belakangan dituding sebagai ”
Parcok
” atau
Partai Coklat
.
Istilah ini disebut pertama kali oleh Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto yang menyinggung soal pergerakan “
partai coklat
” perlu diantisipasi.
Hasto menyampaikan ini ketika menegaskan seluruh jajaran PDI-P memantau pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2024, Rabu (27/11/2024).
“Di Jawa Timur relatif kondusif, tetapi tetap kami mewaspadai pergerakan partai coklat ya, sama dengan di Sumatera Utara juga,” ujar Hasto di kediaman Megawati Soekarnoputri, Rabu (27/11/2024).
Istilah itu kemudian menyudutkan Polri karena disebut-sebut melakukan pengerahan aparat pada pemilihan umum, baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada.
Namun, DPR melihat isu
parcok
dalam
Pilkada 2024
adalah kabar bohong atau hoaks. Ini seperti disampaikan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.
Adapun Komisi III merupakan mitra kerja Polri di DPR.
“Apa yang disampaikan oleh segelintir orang terkait parcok dan lain sebagainya itu, kami kategorikan sebagai hoaks,” kata Habiburokhman di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Terkait partai coklat ini, Habiburokhman menyebut ada juga anggota DPR RI yang dilaporkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI usai melontarkan tudingan itu.
Namun, ia enggan mengungkap identitas anggota DPR yang dilaporkan ke MKD DPR itu.
“Saya dengar orang tersebut sudah dilaporkan ke MKD. Kalau dilaporkan ke MKD tentu prosedurnya akan dipanggil, dimintai keterangan diminta untuk membuktikan. Kalau tidak bisa membuktikan, tentu ada konsekuensinya,” ucapnya.
Selain dituding “Parcok”, Polri juga diusulkan kembali ke TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) imbas disebut-sebut mengerahkan aparat dalam Pilkada 2024.
Usulan ini disampaikan oleh Ketua DPP PDI-P, Deddy Yevri Sitorus.
Hal ini menyusul hasil Pilkada Serentak 2024 di sejumlah wilayah, di mana PDI-P merasa kekalahan mereka di wilayah-wilayah tersebut disebabkan oleh pengerahan aparat kepolisian atau “parcok”.
“Kami sedang mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali di bawah kendali Panglima TNI atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri,” ujar Deddy dalam jumpa pers, Kamis (28/11/2024).
Ia berharap, DPR RI nantinya bisa bersama-sama menyetujui agar tugas polisi juga direduksi sebatas urusan lalu lintas, patroli menjaga kondusivitas perumahan, serta reserse untuk keperluan mengusut dan menuntaskan kasus-kasus kejahatan hingga pengadilan.
“Di luar itu saya kira tidak perlu lagi. Karena negara ini sudah banyak institusi yang bisa dipakai untuk menegakkan ini,” kata Deddy.
Polri hanya bungkam ketika mendapat tudingan “Parcok” maupun usulan dikembalikan ke TNI/Kemendagri.
Ketika ditanya mengenai dorongan PDI-P untuk mengembalikan Polri ke TNI atau Kemendagri, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta wartawan bertanya kepada yang mengusulkan.
“Tanya yang nanya,” ujar Listyo, di kompleks Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, pada Jumat (29/11/2024), saat acara wisuda Prabhatar Akademi TNI dan Akademi Kepolisian (Akpol).
Sementara itu, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto yang hadir dalam acara tersebut juga memilih untuk tidak memberikan komentar dan mengikuti langkah Listyo.
Tudingan soal “Parcok” dan usulan untuk kembali ke TNI/Kemendagri dinilai sebagai langkah Polri untuk melakukan introspeksi diri.
Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid meminta institusi Polri mengoreksi diri terkait munculnya istilah “Partai Coklat” (Parcok) atau pengerahan aparat kepolisian pada pemilihan umum (pemilu), baik pilpres, pileg, maupun pilkada.
“Kalau hari ini kemudian tidak dipercaya atau publik banyak dugaan berpolitik, ada sebutan parcok-lah, parpol-lah, itu menurut saya itu koreksi, harus didengar ini oleh institusi kepolisian,” kata Jazilul usai acara Musyawarah Nasional (Munas) V Perempuan Bangsa yang digelar di Jakarta, Jumat (29/11/2024) malam.
Menurut dia, ada kemungkinan istilah Partai Coklat tidak terbukti. Meski begitu, Polri diminta mengoreksi diri lantaran isu ini kerap muncul.
Jazilul mengakui tak menemukan bukti konkret juga soal tudingan keterlibatan Polri dalam pemilu. Namun, Jazilul mengaku pernah mendengar isu terkait hal ini.
“Bahkan saya pernah dengar langsung ada seorang kepala desa begitu untuk memenangkan tertentu itu dipanggil, ditakut-takuti dengan kasus. Katanya begitu yang disampaikan ke saya,” kata dia.
Anggota Komisi III DPR RI ini menilai Polri perlu melakukan koreksi di internal agar ke depannya isu tersebut tidak menjadi kegaduhan publik.
Dia berpandangan, jangan sampai Polri yang seharusnya menjaga keamanan ketertiban, justru membuat ketidaktertiban publik.
“Hari ini mungkin bisa ditangani, suatu saat enggak bisa ditangani akan terjadi masalah,” kata Jazilul.
“Lebih baik menurut saya koreksi saja secara internal perbaiki, lakukan evaluasi supaya tidak lagi berpolitik, ini domainnya partai-partai dan juga partai-partai jangan ditarik-tarik institusi itu menjadi institusinya partai,” imbuh dia.
PKB dalam posisi menghormati profesionalitas kepolisian.
Menurutnya, PKB juga mengapresiasi jajaran kepolisian yang telah memastikan pilkada tahun ini berjalan lancar.
“Meskipun ada dugaan penggunaan aparat dan semacam dugaan-dugaan seperti itu, tetapi pada umumnya sukseslah kerja yang dilakukan kepolisian,” tuturnya.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso juga sepakat, Polri sebaiknya introspeksi.
“Tunduk di bawah TNI atau kementerian tentu harus menjadi introspeksi pimpinan Polri,” ujarnya.
Meski demikian, Sugeng menegaskan bahwa IPW tidak setuju dengan usulan Polri dikembalikan ke TNI/Kemendagri.
Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah kemunduran.
Sugeng menekankan perlunya introspeksi mendalam dari para pimpinan Polri.
“Kepercayaan publik yang diukur melalui survei perlu dipertanyakan. Apakah surveinya benar atau abal-abal? Semua insan Polri harus kembali kepada jati diri,” jelasnya.
Selain itu, tambah dia, jika Polri kembali berada di bawah TNI, potensi pelanggaran hak asasi manusia bisa meningkat.
“Kembali lagi menjadi aparatur pendekatannya kekerasan,” tambahnya.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.