Polemik Pembatasan Satu Orang Satu Akun Medsos Nasional 20 September 2025

Polemik Pembatasan Satu Orang Satu Akun Medsos
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 September 2025

Polemik Pembatasan Satu Orang Satu Akun Medsos
Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
GAGASAN
pembatasan setiap warga negara hanya boleh memiliki satu akun media sosial untuk setiap platform, menimbulkan perdebatan.
Keinginan yang didasari kekhawatiran banyaknya akun anonim atau akun ganda yang digunakan untuk penyebaran hoaks, penipuan digital, ujaran kebencian, dan ketersesatan opini publik, memantik pertanyaan konsekuensinya secara teknis, hukum dan dampaknya pada ekosistem digital.
Di tataran wacana, regulasi pembatasan ini dimaksudkan untuk menerapkan akuntabilitas dan ekosistem digital yang sehat. Namun, implementasi gagasan ini sangat tak sederhana.
Implementasi teknis, keterkaitan dengan pelindungan data pribadi, responsabile ekosistem digital yang terlanjur terbangun, dan belum lagi berbagai alasan praktis seperti banyak orang yang sudah memiliki lebih dari satu akun untuk berbagai kepentingan termasuk
back up
data.
Regulasi satu orang satu akun akan terkait dengan mekanisme verifikasi identitas data pribadi pengguna ke dalam platform digital media sosial. Hal ini, misalnya, dilakukan melalui integrasi data KTP atau NIK.
Verifikasi NIK dan Nomor KTP oleh platform media sosial secara masif memiliki risiko terkait pelindungan data pribadi yang saat ini dilindungi oleh UU 27/2022.
Hal yang perlu diingat, verifikasi data digital untuk media sosial sangat berbeda dengan verifikasi aktivasi kartu prabayar telepon seluler atau Mobile Station International Subscriber Directory Number (MSISDN).
Perusahaan media sosial adalah entitas global “Over The Top” yang tidak identik dengan operator telekomunikasi yang dikelola secara domestik dan wajib memiliki izin penyelenggaraan telekomunikasi berdasarkan hukum Indonesia.
Meskipun secara wacana gagasan “Single social media account” bisa mengurangi akun palsu, dalam praktiknya tak mudah.
Kebijakan ini juga akan identik dengan penerapan regulasi baru seperti kewajiban platform media sosial untuk melakukan verifikasi identitas berbasis data kependudukan nasional, melalui verifikasi database Dukcapil.
Platform Medsos harus melakukannya dengan ketat agar informasi pribadi pengguna tidak bocor. Akan ada integrasi data besar-besaran antara data pemerintah dan perusahaan teknologi.
Ekosistem digital saat ini sudah terlanjur terbentuk. Medsos digunakan secara masif tak semata untuk ruang ekspresi dan kreativitas konten.
Bahkan, media sosial saat ini disebut sudah “kurang sosial” dibanding tujuan awalnya, karena sudah digunakan berbagai aktivitas dan tujuan, termasuk
social commerce.
Regulasi semacam ini harus diantisipasi dampaknya karena bisa memantik isu pembatasan ruang digital warga negara.
Seperti dipahami, kerap terjadi penyalahgunaan identitas atau adanya akun anonim yang digunakan untuk serangan digital, penipuan, atau manipulasi opini publik.
Terkait dengan hal ini, pertanyaannya adalah, apakah kebijakan satu orang satu akun medsos akan efektif atau malah menimbulkan maraknya penggunaan data pribadi milik orang lain tanpa izin?
Sebenarnya hal yang paling diperlukan adalah literasi digital dan kosistensi penegakan hukum. Peningkatan literasi digital, termasuk pengawasan keluarga untuk anak-anak, efektivitas penegakan hukum, dan konsistensi ketaatan hukum platform media sosial dalam menjaga iklim kondusif dengan menggunakan teknologinya adalah kuncinya.
Media sosial saat ini telah menjadi bagian interaksi individu dan masyarakat secara global yang kerap menimbulkan dampak, termasuk pelindungan anak-anak.
Pada uraian ini, saya ingin menjelaskan bahwa upaya verifikasi meskipun dengan menggunakan teknologi mutakhir tidaklah sederhana, seperti yang kini dihadapi Australia dalam mengatasi dampak plaform medsos.
Australia adalah salah satu pelopor yang telah membuat regulasi tentang pembatasan pengguna anak-anak di medsos berbasis pembatasan usia.
Regulasi Australia yang selama ini dipuji berbagai kalangan, ternyata juga tidak bisa dimplementasikan secara ideal sesuai ide awalnya.
Hal ini seperti dilaporan
The Conversation
“Details on how Australia’s social media ban for under-16s will work are finally becoming clear” (16/9/2025).
Pemerintah Australia merilis panduan regulasi terkait undang-undang usia minimum media sosial, yang akan mulai berlaku pada 10 Desember.
Namun, ditegaskan bahwa pemerintah tidak meminta platform untuk memverifikasi usia semua pengguna karena verifikasi menyeluruh semacam itu dianggap tidak masuk akal, terutama terkait penarikan kesimpulan identifikasi usia pengguna secara akurat.
Dalam praktiknya memang tak sederhana, ketika ada anak yang mungkin bisa tetap menggunakan akun mereka, karena teknologi pemindaian wajah memperkirakan usia mereka di atas 16 tahun yang tak sesuai dengan usia sebenarnya.
Kebijakan ini pun mash bisa diakali, kemungkinan adanya anak tetap bisa mendaftar dengan identitas palsu, atau meminjam akun orang tua.
Penjelasan pedoman ini juga dilaporkan
ABC News
berjudul “
Final Rules for Social Media Ban Revealed, with No Legally Enforceable Effectiveness Standard
” (15/9/2025).
Dilaporkan bahwa perusahaan media sosial tidak perlu memverifikasi usia setiap pengguna terkait standar minimum usia yang harus dikeluarkan dari platform, saat ketentuan berlaku pada bulan Desember tahun ini.
Platform media sosial hanya wajib menunjukkan bahwa mereka telah mengambil langkah-langkah wajar untuk menghapus akun pengguna di bawah 16 tahun, tanpa ada kewajiban memverifikasi semua pengguna.
Pemerintah Australia pun tidak menginginkan platform Medsos untuk menyimpan data pribadi terkait pemeriksaan usia individu pengguna. Pemerintah Australia hanya menekankan agar platform menyimpan catatan yang terkait sistem dan prosesnya saja.
Hal ini menunjukan dipilihnya pendekatan yang lebih ringan terkait usia, di mana platform cukup membuktikan bahwa langkah-langkah wajar sudah diambil secara lebih realistis. Berbeda dengan pemikiran sebelumnya yang terlalu ambisius dan sulit diterapkan.
Kebijakan verifikasi usia yang lebih ringan menekankan tanggung jawab platform dan bukan pengawasan total. Dari sisi praktis, tentu lebih realistis, karena tidak membebani pengguna dengan verifikasi identitas berlapis.
Berkaca pada berbagai hal di atas, kembali ke wacana satu orang satu akun Medsos, dapat disimpulkan bahwa wacana itu bukan solusi praktis yang ideal.
Inti persoalan saat ini bukan pada jumlah akun, melainkan bagaimana agar akun itu digunakan secara benar dan bertanggung jawab tanpa melanggar hukum. Literasi digital, regulasi jelas, dan tegasnya penegakan hukum adalah langkah yang lebih penting.
Pelacakan tindak kejahatan dan pelanggaran hukum secara kasus per kasus, saat ini relatif sudah banyak dilakukan dengan metode
digital tracking
. Memperkuat sistem seperti ini lebih realistis dibanding dengan menggeneralisasinya.
Negara sebaiknya lebih berkonsentrasi pada penguatan literasi digital masyarakat, transparansi algoritma, dan menekankan kepatuhan perusahaan platform medsos dan penggunanya.
Siapa pun harus konsisten dan patuh terhadap UU 1/2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan UU 27/2022 tentang Pelindungan Data Pribadi dan regulasi terkait lainnya sebagai
Cyberlaw
yang berlaku sebagai hukum positif negeri ini.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.