PMI Manufaktur RI Melesat, Tinggalkan China-Jepang di Jurang Kontraksi

PMI Manufaktur RI Melesat, Tinggalkan China-Jepang di Jurang Kontraksi

Bisnis.com, JAKARTA — Indeks produktivitas manufaktur di sejumlah negara mengalami perbaikan, meski tak sedikit yang terjerat di fase kontraksi. Namun, pada Agustus ini, Indonesia berhasil keluar dari fase kontraksi dalam 4 bulan terakhir. 

Berdasarkan laporan S&P Global, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia berada di level 51,5 pada Agustus 2025 atau naik dari bulan sebelumnya 49,2 pada Juli 2025 atau di bawah ambang batas 50. 

Kinerja PMI manufaktur Indonesia sebelumnya telah terkontraksi sejak April 2025 lalu yang anjlok ke angka 46,7. 

Pada hari yang sama, S&P Global juga merilis kinerja PMI dari sejumlah negara Asean seperti Thailand (52,7), Filipina (50,8), dan Myanmar (50,4). Tak hanya Asean, manufaktur negara Asia juga tumbuh ekspansi. 

Laporan terbaru juga menunjukkan PMI Jepang yang naik ke level 49,7 pada Agustus 2025, tetapi masih di bawah ambang batas 50 yang artinya kontraksi. Kemudian, PMI Manufaktur Korea Selatan juga masih ekspansi meski tumbuh tipis menjadi 48,3 pada Agustus dari bulan sebelumnya 48. 

Di sisi lain, PMI manufaktur Taiwan tercatat tumbuh ke angka 47,7 atau naik dari bulan sebelumnya 46,2. Bahkan, Biro Statistik Nasional mencatat PMI manufaktur China juga kontraksi meski tumbuh tipis menjadi 49,4 pada Agustus 2025, dari 49,3 pada Juli 2025.

Dari laporan tersebut, negara-negara yang masih terjerat di kondisi kontraksi rata-rata terkendala dari segi permintaan yang terus menurun, baik domestik maupun ekspor. Alhasil, produksi manufaktur perlu menyesuaikan dengan kondisi pasar. 

Namun, ekonom S&P Global masih menilai ada sinyal pemulihan di sejumlah negara. Misalnya, industri di Jepang yang masih melanjutkan produksi dan menambah tenaga kerja untuk berjaga-jaga jika kondisi permintaan meningkat di masa depan.

“Ada juga indikasi bahwa tekanan inflasi telah mendingin. Khususnya, tingkat inflasi biaya input yang dipegang mendekati titik terendah empat setengah tahun Juli, harga jual juga pada tingkat terlemah dalam lebih dari empat tahun,” kata Annabel Fiddes, Economics Associate Director at S&P Global Market Intelligence. 

Sementara itu, ekspansi di Indonesia didorong oleh peningkatan baik pada produksi maupun volume pesanan baru. Menanggapi hal ini, perusahaan meningkatkan aktivitas pembelian dan jumlah tenaga kerja pada pertengahan triwulan ketiga untuk menyesuaikan kebutuhan produksi tambahan. 

Industri juga menambah stok pembelian, namun inventaris barang jadi menurun karena digunakan untuk memenuhi pesanan.

Ekonom S&P Global Market Intelligence, Usamah Bhatti mengatakan pada pertengahan triwulan ketiga 2025, sektor manufaktur Indonesia menunjukkan perbaikan kembali pada kondisi operasional untuk pertama kali setelah kontraksi 4 bulan terakhir. 

“Perusahaan mencatat pertumbuhan baru pada output dan pesanan baru, dengan pesanan ekspor mencatat kenaikan tercepat dalam hampir dua tahun,” kata Bhatti dalam laporan terbarunya pada Senin (1/9/2025). 

Di sisi lain, China dilaporkan menandai pelemahan aktivitas manufaktur selama lima bulan berturut-turut. Kondisi ini juga menunjukkan pelaku industri masih menunggu kepastian dari negosiasi dagang dengan Amerika Serikat (AS), sementara permintaan domestik tetap lesu.

Apalagi, ekonomi China tengah menghadapi berbagai tekanan, mulai dari melemahnya ekspor akibat tarif AS, kemerosotan sektor properti, meningkatnya ketidakpastian pekerjaan, utang besar di pemerintahan daerah, hingga dampak cuaca ekstrem. Situasi ini berpotensi menghambat target pertumbuhan ambisius Beijing pada 2025 yang dipatok sekitar 5%.