Pilkada dan Demokrasi Substansial
Peneliti | Political Enthusiast | Kolumnis
MESKI
bukan yang pertama kali, penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (
Pilkada
) serentak di Indonesia dianggap masih memproduksi segenap persoalan.
Alih-alih hanya berkaitan dengan urusan administrasi dan logistik, masalah-masalah tersebut justru dominan terjadi di tingkat dan cakupan lebih esensial.
‘Buying vote’ misalnya, meski terdengar klasik, tetapi masih terjadi. Begitu juga dengan problematika serius lainnya seperti politik identitas,
black campaign
, hingga
rent-seeking.
Jika dibedah secara lebih mendalam, seluruh persoalan tersebut sebetulnya terkait erat dengan eksistensi
demokrasi
sebagai ide yang dijalankan oleh negara.
Faktanya, Pemilihan Umum (Pemilu) di banyak tingkat di Indonesia telah diselenggarakan secara tepat waktu dan sesuai peraturan perundangan.
Pertanyaan kemudian mengemuka: Apakah kemampuan menyelenggarakan Pemilu (termasuk Pilkada di dalamnya) yang secara aturan sudah baik dan benar, otomatis menunjukkan Indonesia telah menjadi negara demokratis?
Tulisan ringkas ini berusaha memberi pandangan atas kegelisahan tersebut.
Setelah berhasil menyelenggarakan Pilkada di waktu berbeda-beda, Indonesia kembali menyelenggarakan hajatan besar pada 27 November 2024 kemarin, yaitu Pilkada serentak.
Memang, ini bukan yang pertama mengingat pada 2020 lalu, Pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga telah menyelenggarakan Pilkada serentak.
Hanya saja, jumlah daerah yang ikut serta dalam Pilkada di periode tersebut belum sebanyak jumlah daerah yang ikut serta dalam Pilkada 2024.
Meningkat cukup signifikan dari penyelenggaraan 2020 lalu, tercatat 1.553 pasangan calon (paslon) yang tersebar di 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota akan menjadi bagian dari penyelenggaraan Pilkada serentak 2024.
Pilkada merupakan proses sirkulasi kepemimpinan politik yang dilakukan secara reguler di mana posisi kepala daerah diperebutkan beberapa paslon melalui jalur kandidasi.
Jika dibedah, penyelenggaraan Pilkada terdiri dari tahapan yang demikian panjang, mulai dari pemenuhan persyaratan dukungan pasangan calon perseorangan hingga pengusulan dan pengangkatan kepala daerah terpilih.
Dari sekian banyak tahapan, hari H pemungutan suara adalah tahapan yang dinilai krusial karena pada titik inilah pemilih memiliki kesempatan untuk mengejawantahkan hak pilihnya.
Proses yang nampaknya sederhana, tapi memiliki konsekuensi jangka panjang karena berkaitan dengan keterpilihan pasangan suatu kandidat tertentu untuk menjadi pemimpin dari sekelompok masyarakat yang menjalani kehidupan di suatu daerah.
Adapun dilihat dari sudut pandang keilmuan, Pilkada serentak kali ini akan mempertemukan setidaknya dua jenis demokrasi sebagai bahan diskusi.
Jenis pertama mengacu pada demokrasi prosedural yang menitik beratkan substansinya pada tahapan dan aturan penyelenggaraan.
Sementara jenis kedua merujuk pada demokrasi substansial yang menggaris bawahi sisi asasi diri manusia. Sub-bab ini akan mencoba memberikan ulasan mengenai hal tersebut secara lebih elaboratif.
Demokrasi
jenis pertama diindikasikan oleh tanda-tanda yang bersifat kaku dan formal. Dipopulerkan oleh ekonom Austria-Amerika sekaligus ilmuwan politik Joseph Alois Schumpeter, demokrasi ini memiliki indikator sederhana bernama Pemilu.
Ringkasnya, ketika suatu negara berhasil menyelenggarakan Pemilu, negara tersebut sudah bisa dikatakan demokratis. Tentu, Pilkada termasuk di dalamnya karena Pemilu di sini merujuk pada penyelenggaraan di berbagai tingkat dan bidang,
Sementara di sisi lainnya, terdapat demokrasi substansial yang didorong oleh David Beetham, Professor Ilmu Politik dari University of Leeds, yang menitik beratkan esensinya pada hak asasi manusia.
Menurut dia, penyelenggaraan Pemilu saja tidak cukup untuk menjadi indikator dari demokratis atau tidaknya negara.
Lebih jauh, Beetham menegaskan bahwa hak asasi manusia, khususnya yang diwujudkan dalam persamaan politik warga negaralah yang semestinya menjadi indikator.
Adapun termasuk di dalam hak asasi tersebut adalah hak-hak pemilih dalam berbagai urusan kepemiluan, seperti hak untuk memilih kandidat yang diinginkan.
Merujuk ulasan sebelumnya, Pilkada di Indonesia sudah menunjukkan keberhasilan. Ini ditandai dengan, misalnya, penyelenggaraan secara teknis yang rapi, baik dan benar.
Bahkan ketika terjadi ketidak puasan dari sudut pandang kandidat, penyelenggara juga sudah mempersiapkan jalur gugatannya secara hukum.
Dengan demikian, secara umum, jika Pilkada adalah indikator demokratis atau tidaknya negara, maka Indonesia sudah menjadi negara yang demokratis.
Hanya saja, ternyata, masih terdapat catatan-catatan minor yang masuk ke dalam kategori esensial.
Contoh, apabila perilaku transaksional semacam ‘buying vote’ masih marak terjadi, apakah hal seperti ini menunjukkan bahwa Indonesia telah sampai pada tingkat demokrasi yang baik?
Bagaimana pula dengan berbagai isu mengenai mahar politik di balik layar yang masih santer terdengar dalam berbagai skenario kandidasi?
Masalah-masalah tersebut menunjukkan bahwa persamaan politik di dalam internal warga negara masih belum sepenuhnya tercapai. Atau dengan kata lain, demokrasi substansial di Indonesia masih belum sepenuhnya diraih.
Faktanya, negara ini masih berjuang untuk membereskan persoalan-persoalan sebagaimana terjadi di tingkat substansial tersebut.
Butuh waktu lebih lama, butuh perjuangan lebih serius untuk memastikan bahwa secara esensial, Pilkada tidak lagi memproduksi masalah sehingga tingkat demokratisasi di Indonesia bisa naik lebih tinggi.
Pada akhirnya, penulis berpendapat bahwa berhasil menyelenggarakan Pilkada secara prosedural saja belum cukup untuk memproduksi suasana demokratis yang diharapkan.
Melalui hajatan besar Pilkada 2024 ini, tak cukup Pemerintah, seluruh stakeholder hendaknya bahu membahu untuk bisa meningkatkan kualitas demokrasi yang dasarnya telah Indonesia miliki. Tentu bukan hanya dari sudut pandang prosedural, melainkan juga yang esensial.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.