Pilih Melbourne atau Montreal

27 April 2024, 5:00

Suryopratomo Pemerhati Sepak Bola(Seno)

SEJARAH sepak bola Indonesia selalu mengacu pada dua momen Olimpiade. Di Olimpiade Melbourne 1956, Ramang dan kawan-kawan membuat sejarah besar saat menahan imbang 0-0 raksasa Uni Soviet. Sementara itu, di Olimpiade Montreal 1976, kesebelasan nasional Indonesia nyaris berangkat ke Kanada. Kalau saja tendangan penalti Andjas Asmara menjadi gol, 48 tahun yang lalu tim nasional Indonesia sudah tampil di Olimpiade Montreal. Sayang Andjas gagal menjadi algojo kelima dalam drama adu tendangan penalti melawan Korea Utara, dan harapan Indonesia untuk tampil di pesta olahraga dunia empat tahunan itu pun melayang.Setelah hampir 50 tahun, harapan itu kini muncul kembali. Kesebelasan U-23 Indonesia membuat sejarah besar ketika mengalahkan raksasa sepak bola Asia, Korea Selatan, 11-10 dalam drama adu tendangan penalti. Pratama Arhan menjadi penentu kemenangan dengan tendangan yang dingin ke pojok kiri gawang Taegeuk Warriors.
Kalau pada Senin (29/4) Rizky Ridho dan kawan-kawan bisa melanjutkan tren kemenangan, sejarah Olimpiade Melbourne akan terulang. Kesebelasan Indonesia bisa kembali tampil di ajang Olimpiade setelah absen hampir tujuh dekade.
Harapan itu menjadi makin besar karena Asia mendapatkan tiga jatah untuk langsung tampil di Olimpiade Paris 2024. Bahkan, ada satu tambahan bagi mereka yang berada di peringkat keempat, yakni memainkan pertandingan play-off melawan peringkat keempat Afrika, Guinea.
Baca juga : Kalahkan Korsel di Piala Asia U-23, ini Skema Indonesia agar Bisa Masuk Olimpiade Paris 2024
Tim asuhan Shin Tae-yong merupakan salah satu yang mempunyai kesempatan untuk mendapatkan itu. Keberhasilan mereka untuk lolos ke semifinal Piala Asia U-23 kali ini ibarat memberikan tiga peluru untuk bisa dipakai menembak sasaran yakni menembus Olimpiade Paris.
 
Shin Tae-yong Baca juga : Indonesia Singkirkan Korsel di Perempat Final Piala Asia U-23, Netizen ‘Negeri Ginseng’ Sebut Shin Tae-yong Pengkhianat
Ketika diwawancarai di program Selamat Pagi Indonesia Metro TV menjelang pertandingan perempat final, saya katakan kita bersyukur mempunyai pelatih sekelas Shin Tae-yong. Sejak pertama kali menyaksikan tim asuhannya tampil di ajang Piala AFF 2021 di Singapura, saya melihat ada sesuatu yang pantas diharapkan dari tim nasional Indonesia sekarang ini.
Ada beberapa alasan. Pertama, karena pola permainan yang mulai jelas arahnya. Meski penyelesaian akhir belum sempurna, ketika itu permainan tim Merah Putih mulai menjanjikan. Buktinya, tim asuhan Shin Tae-yong bisa lolos hingga final. Di final melawan tim yang matang seperti Thailand, mereka sempat menahan Imbang 2-2, meski di pertandingan pertama harus menyerah 0-4.
Kedua, materi pemain yang dibangun Shin Tae-yong masih muda dan berusia sekitar 20 tahun. Saya melihat Rizky Ridho yang menjadi center-back, Arhan yang menjadi bek kiri, dan penyerang Witan Sulaeman. Bahkan ketika itu ada pemain yang juga memiliki potensi besar seperti Alfeangga Dewangga dan Egy Maulana. Baca juga : Indonesia U-23 Vs Korsel U-23: Shin Tae-yong Komit Meski Melawan Negaranya Sendiri
Ketiga, sebagai seorang pelatih, Shin Tae-yong sangat memahami pentingnya pemain untuk memiliki kesempatan bermain bersama dalam periode yang cukup panjang. Kebersamaan itu akan membuat bonding di antara para pemain makin kuat dan kemudian terbangun sikap saling percaya dan saling mengerti.
Kelebihan lain dari Shin Tae-yong, ia menegakkan disiplin yang kuat kepada para pemain. Saat tampil di ajang Piala AFF 2021, ia meminta bantuan kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura untuk menyediakan peralatan latihan beban di hotel. Apalagi, saat itu di Singapura berlaku aturan ketat dalam penanganan covid-19 sehingga ada pembatasan jumlah pemain yang bisa berlatih bersama.
Shin Tae-yong ingin agar kebugaran anak-anak asuhannya bisa terus terjaga. Untuk itu, ia meminta KBRI di Singapura bisa menyiapkan sejumlah peralatan latihan beban. Baca juga : PSSI Perpanjang Kontrak Shin Tae-yong hingga 2027
Sebagai pelatih dengan pengalaman tinggi, Shin Tae-yong juga menerapkan prinsip meritokrasi yang kuat. Ia tidak pernah ragu untuk mencoret pemain dan menggantikan dengan pemain yang lebih menjanjikan. Namun, ia tetap memberikan kesempatan kepada pemain yang tampil konsisten untuk tetap bersama tim.
Dengan pendekatan seperti itu, tidak usah heran apabila penampilan tim asuhannya makin meningkat. Kehadiran pemain naturalisasi dijadikan katalisator untuk mempercepat pembangunan tim dan membangun kepercayaan diri pemain.
 
Torehkan sejarah 
Kecermatan Shin Tae-yong dalam membaca permainan lawan dan menerapkan taktik serta strategi yang tepat sudah ia tunjukkan ketika dipercaya menangani tim Taegeuk Warriors di ajang Piala Dunia 2018. Ia mampu mengungguli pelatih dunia sekelas Joachim Loew saat membuyarkan mimpi Jerman lolos ke putaran kedua Piala Dunia Rusia.
Padahal, Jerman datang ke Rusia sebagai juara bertahan. Semua orang menduga bahwa Jerman tidak akan kesulitan untuk bisa mengalahkan Korea Selatan seperti di semifinal Piala Dunia 2002. Namun, hingga 90 menit pertandingan, Jerman tidak sanggup menjebol gawang tim Taegeuk Warriors dan justru pada enam menit injury time, Korea Selatan mencuri dua gol kemenangan melalui Kim Young-gwon dan Son Heung-min.
Di perempat final Piala Asia U-23, Shin Tae-yong jeli untuk memanfaatkan kecepatan Marselino Ferdinan dan Witan Sulaeman sebagai penyerang sayap. Pelatih asal Korsel itu tetap memberikan kepercayaan kepada Rafael Struick sebagai ujung tombak.
Struick, pemain asal klub Divisi II Belanda, ADO Den Haag, memiliki bakat yang luar biasa. Saat menghadapi Qatar, Australia, dan Yordania, pemain berusia 21 tahun itu sering menjadi ancaman terutama ketika bergerak diagonal di luar kotak penalti lawan. Tendangan melengkung ke tiang jauh membuat kiper lawan kesulitan untuk menjangkaunya.
Gol pertama ke gawang Korea Selatan kemarin ia ciptakan dengan cara seperti itu. Dari sudut kanan kotak penalti lawan, ia lepaskan tendangan ke pojok atas tiang jauh yang tidak bisa dihalau lagi oleh kiper Korsel, Baek Jong-bum. Dua kali Struick menjadi momok dan mimpi buruk bagi barisan pertahanan Taegeuk Warriors.
Kita juga pantas memberikan apresiasi kepada kiper Ernando Ari dan center-back Komang Teguh. Ernando menjadi pahlawan dengan beberapa save yang ia lakukan. Pertama, saat menghadapi Australia, ketika tendangan penalti Mohamed Toure ke sudut kiri gawangnya masih bisa ditepis kiper asal Surabaya tersebut.
Kalau saja tendangan penalti itu gagal ditepis Ernando, moral pemain bisa jatuh, karena di pertandingan pertama Ricky Ridho dikalahkan Qatar 0-2. Penyelamatan itu membangkitkan kembali semangat para pemain dan akhirnya bisa mencuri gol kemenangan melalui sundulan kepala Komang Teguh, dan harapan Indonesia untuk bisa bertahan di kejuaraan tetap hidup.
Penampilan di perempat final kemarin dini hari merupakan puncak permainan terbaik tim asuhan Shin Tae-yong. Mereka mampu memaksa Korea Selatan bekerja keras karena dua kali tertinggal. Itulah yang memungkinkan Rizky Ridho dan kawan-kawan memaksa adanya adu tendangan penalti.
Ernando lagi-lagi menjadi pahlawan penyelamat tim dalam drama adu tendangan penalti. Dua kali ia mampu mematahkan tendangan penalti pemain Korsel. Shin Tae-yong menargetkan tos-tosan mampu mempersiapkan para pemainnya untuk menjadi algojo yang baik.
Kemenangan atas Korsel seharusnya membukakan mata para pemain bahwa tidak ada yang mustahil untuk bisa diraih. Termasuk pertandingan semifinal melawan Arab Saudi atau Uzbekistan.
Sekarang yang dibutuhkan ialah keyakinan dan determinasi dari seluruh tim untuk meraih mimpi tampil di Olimpiade Paris. Ada tiga good yang harapkan bisa didapatkan tim asuhan Shin Tae-yong Senin nanti. Pertama ialah good strategy yang harus disiapkan pelatih. Kedua, good execution yang harus dijalankan para pemain. Dan ketiga, yang tidak kalah penting, yakni good luck. Selamat berjuang, Garuda Muda!