Bisnis.com, JAKARTA — Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menegaskan penurunan okupansi hotel sepanjang 2025 bukan karena cuaca ekstrem atau bencana, melainkan akibat hilangnya pasar pemerintah seiring pengetatan belanja pemerintah pada tahun ini.
Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran menyebut kontribusi pasar pemerintah sangat besar bagi kinerja hotel, berkisar antara 40%–60% bahkan bisa mencapai 80% di beberapa wilayah. Hal ini membuat penurunan okupansi secara tahunan lebih disebabkan oleh faktor internal daripada kondisi cuaca atau bencana.
“Terkait penurunan okupansi yang terjadi itu, paling utama itu bukan karena cuaca, bukan karena bencana, tetapi year-on-year penurunan okupansi atau kontribusi negatif pertumbuhan itu terjadi karena hilangnya pasar pemerintah,” kata Maulana kepada Bisnis, Sabtu (27/12/2025).
Maulana menambahkan, hampir semua daerah di luar Pulau Jawa mencatat penurunan okupansi hotel, yang secara rata-rata mencapai sekitar 5% pada 2025.
Di samping itu, PHRI menyebut penurunan daya beli masyarakat juga ikut memukul kinerja hotel pada tahun ini, meski pemerintah sudah menggulirkan insentif seperti diskon tiket pesawat, tol, dan kebijakan work from anywhere (WFA) pada 29–31 Desember 2025.
“Kalau kita bicara daya beli rendah, masyarakat enggak punya uang untuk berwisata, ya tetap saja enggak berwisata. Jadi upaya-upaya itu dilakukan dalam rangka untuk tetap bisa menggerakkan ekonomi. Kan tujuannya ke situ ya,” ujarnya.
Di sisi lain, Maulana menyoroti pola liburan masyarakat yang kini lebih fleksibel dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Banyak wisatawan memulai liburan sebelum periode Nataru untuk menghindari macet dan biaya tinggi, sehingga prediksi okupansi harian bisa berbeda dari data akhir.
Industri pariwisata juga menghadapi tantangan cuaca ekstrem. Meski bukan isu negatif, kondisi ini membuat banyak wisatawan lebih berhati-hati, terutama jika daerah asal mereka terdampak banjir, sehingga beberapa perjalanan dibatalkan.
Tantangan lain adalah metode perjalanan wisatawan, terutama di luar Pulau Jawa yang mengandalkan transportasi udara. Maulana menuturkan, biaya perjalanan yang tinggi membuat okupansi tertinggi tetap di Pulau Jawa, Sumatra, dan Bali, sementara daerah lain sulit mengalami peningkatan.
Berdasarkan laporan harian PHRI, beberapa wilayah seperti Yogyakarta menunjukkan tingkat hunian lebih tinggi. Sementara wilayah lain, termasuk Makassar dan Sulawesi Selatan masih rendah.
Meski demikian, seluruh data yang ada saat ini masih bersifat proyeksi dan dapat berubah seiring berjalannya periode libur akhir tahun.
