Bisnis.com, JAKARTA – Produsen ban Michelin di Indonesia, PT Multistrada Arah Sarana Tbk. (MASA), tengah menjadi sorotan setelah resmi dihapus pencatatannya dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada saat bersamaan MASA diguncang isu pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap ratusan karyawannya.
BEI menyatakan bahwa delisting saham MASA mulai berlaku efektif pada Kamis (30/10/2025) setelah seluruh ketentuan dalam Peraturan Pencatatan No. I-N tentang Delisting dan Relisting terpenuhi. Langkah ini diambil setelah BEI menerima surat permohonan penghapusan pencatatan saham dari perusahaan pada 25 Juli 2024, dengan suspensi perdagangan yang telah diberlakukan sejak 26 Juli 2024.
“Dengan penghapusan pencatatan ini, status perseroan sebagai emiten di BEI resmi dicabut, dan perseroan tidak lagi memiliki kewajiban sebagai perusahaan tercatat,” tulis manajemen BEI dalam keterangan resminya.
Meski begitu, BEI membuka kemungkinan bagi Multistrada untuk kembali mencatatkan sahamnya di kemudian hari, sesuai ketentuan yang berlaku.
Multistrada Arah Sarana, yang berdiri sejak 20 Juni 1988 dengan nama awal PT Oroban Perkasa, sempat melantai di bursa melalui penawaran umum perdana (IPO) pada 22 Desember 2004 dengan kode saham MASA.
Perusahaan ini berkembang pesat dan dikenal sebagai salah satu produsen ban terbesar di Indonesia. Setelah diakuisisi oleh Compagnie Générale des Etablissements Michelin (Michelin) pada 2020, Multistrada mulai memproduksi ban dengan merek Uniroyal dan BFGoodrich yang dipasarkan di dalam dan luar negeri.
Namun, di tengah proses restrukturisasi bisnisnya, perusahaan yang berlokasi di Cikarang, Jawa Barat itu kini diterpa isu PHK massal. Berdasarkan informasi dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Bekasi, perusahaan secara mendadak mengumumkan pengurangan sekitar 280 pekerja yang akan dilakukan secara bertahap dalam waktu dekat.
Lebih lanjut, Corporate Communication Manager Michelin Indonesia, Monika Rensina, membenarkan bahwa perusahaan melakukan langkah efisiensi, termasuk pengurangan tenaga kerja. Menurutnya, langkah tersebut diambil sebagai bentuk penyesuaian terhadap dinamika pasar dan kebutuhan operasional.
“Kami memahami bahwa situasi ini tidak mudah, namun keputusan ini diambil setelah pertimbangan matang. Penyesuaian ini merupakan langkah penting untuk menjaga daya saing dan memastikan keberlanjutan jangka panjang organisasi,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (30/10/2025).
Monika menegaskan, perusahaan tetap berkomitmen memperlakukan setiap individu dengan rasa hormat dan empati selama proses berlangsung. Michelin Indonesia juga memastikan pemberian kompensasi yang layak, pendampingan karier, serta akses terhadap sumber daya untuk membantu karyawan terdampak.
Di sisi lain, serikat pekerja menilai kebijakan PHK dilakukan secara sepihak dan tidak sesuai dengan perjanjian kerja bersama (PKB) yang berlaku. Ketua PUK SP KEP SPSI PT Multistrada Arah Sarana Tbk., Guntoro, menegaskan bahwa setiap langkah PHK harus melalui proses perundingan terlebih dahulu.
“PHK harus berdasarkan kesepakatan, bukan dilakukan sepihak. Tidak bisa hari ini dipanggil, lalu hari ini juga diberikan surat PHK,” ujarnya. Ia menambahkan, perusahaan wajib berunding dengan pekerja sebelum mengambil keputusan, sesuai aturan ketenagakerjaan dan kesepakatan PKB yang berlaku.
Respons Asosiasi Pekerja
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, turut menyoroti kasus ini. Ia menyebut penurunan permintaan global terhadap produk ban menjadi penyebab utama pengurangan karyawan di pabrik Michelin Indonesia.
“Akibat permintaan yang menurun, maka terjadi pengurangan produksi dan karyawan atau PHK,” kata Said.
Ia menambahkan, pemerintah perlu mengambil langkah untuk meningkatkan daya beli masyarakat, karena penurunan konsumsi domestik turut berdampak pada sektor manufaktur, termasuk otomotif dan komponen kendaraan.
Sementara itu, Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) menilai langkah efisiensi yang diambil Michelin Indonesia tidak terlepas dari tekanan biaya produksi dan tingginya beban gaji karyawan.
Ketua Umum APBI Aziz Pane mengatakan, situasi industri ban saat ini memang menantang, di tengah melambatnya sektor manufaktur nasional dan daya beli yang menurun.
“Mungkin karena beban gaji karyawan terlalu tinggi, tetapi kami imbau perusahaan anggota kami agar tetap membuka ruang dialog dengan pekerja untuk mencari opsi terbaik. Misalnya, dirumahkan sementara, lalu dipekerjakan lagi dengan gaji yang negotiable,” ujar Aziz kepada Bisnis.
Industri Ban Mulai ‘Gembos’?
Aziz mengakui bahwa industri ban sedang mengalami tekanan akibat melambatnya sektor manufaktur serta daya beli masyarakat yang mengalami penurunan.
Adapun, Indeks produktivitas manufaktur nasional mengalami perlambatan. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur di level 50,4 pada September 2025 atau turun dari bulan sebelumnya 51,5.
Namun, menurut Aziz, industri ban relatif lebih resilien di tengah pelemahan pasar. Sebab, komponen ban selalu dibutuhkan oleh setiap pemilik kendaraan, serta memerlukan penggantian secara berkala.
“Semua manufaktur sedang turun, karena daya beli yang rendah ditambah ketidakpastian geopolitik global. Tetapi industri ban tidak terlalu parah, karena ban itu sudah seperti kebutuhan bagi yang punya kendaraan,” jelasnya.
Di lain sisi, industri ban juga menghadapi tantangan kelebihan pasokan (oversupply). Pada pertengahan 2025 lalu, APBI sempat menolak investasi baru pabrik ban dari China yang semula direncanakan mencapai US$2 miliar tahun ini. Musababnya, penambahan investasi ban khusus pertambangan dan truk itu dinilai akan memicu oversupply.
Sebagai gambaran, saat ini Indonesia telah dipenuhi oleh pabrik ban multinasional dari seluruh dunia termasuk tiga pabrik ban baru dari China yang akan memproduksi ban pertambangan dan ban truk atau bus.
Dalam catatan APBI, pada 2024 industri ban roda 4 atau lebih kapasitas terpasang sebesar 97,6 juta unit, sedangkan yang diproduksi hanya sebesar 68,1 juta unit. Estimasi tahun ini kapasitas meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, dengan produksi masih meningkat dibandingkan 2024.
Sementara itu, kapasitas terpasang ban vulkanisir ban 23 juta unit, dengan produksi 14,7 juta unit. Dia memprediksi pada 2025 kapasitas dan produksinya lebih besar dari 2024.
Kasus Multistrada mencerminkan tekanan yang tengah dihadapi sektor manufaktur nasional, di tengah menurunnya permintaan global dan kondisi ekonomi domestik yang belum sepenuhnya pulih.
