Pesta Rakyat Warisan Kolonialisme Belanda

Pesta Rakyat Warisan Kolonialisme Belanda

JAKARTA – Peradaban besar kerap hadir di sepanjang suatu aliran sungai. Narasi itu membuat sungai bak muara kehidupan sosial dan budaya. Ambil contoh masyarakat yang hidup di sepanjang aliran hulu Sungai Indragiri, Taluk Kuantan, Riau.

Peradaban masyarakat Kuantan memunculkan tradisi pacu jalur (dayung perahu). Tradisi itu jadi pesta rakyat di masa penjajahan Belanda. Perlombaannya digelar pada hari besar keagamaan. Bahkan, jadi ajian penting perayaan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina.

Sungai punya peranan penting dalam eksistensi peradaban manusia. Kebutuhan manusia akan air membuat mereka mengistimewakan sungai. Kondisi itu membuat banyak aktivitas sosial hingga budaya lahir di sepanjang aliran sungai.

Kedekatan antara manusia dan sungai hadir pula di berbagai wilayah di Indonesia. Masyarakat Kuantan di sepanjang hulu Sungai Indragiri, misalnya. Mereka jadikan sungai bagian penting dalam kehidupan. Ambil contoh kehadiran tradisi pacu jalur.

Penanda kehadiran tradisi pacu jalur bermula dari aktifnya warga setempat menggunakan perahu sebagai alat transportasi sedari abad ke-17. Eksistensi pacu jalur sebagai perlombaan tertulis sejak era penjajahan Belanda.

Pacu jalur menegaskan pentingnya suatu budaya gotong royong lewat usaha membangun perahu yang kemudian dikenal sebagai jalur. Seisi kampung punya peranan masing-masing membangun perahu – pria dan wanita.

Pembuatan perahu yang mahal akhirnya terasa ringan dengan patungan. Namun, bukan berarti pembuatan perahu bisa dilakukan dalam singkat.

Pacu jalur, tradisi rakyat yang mulai dilombakan pada masa kolonialisme Belanda di Nusantara. (ANTARA)

Warga kampung di Kuantan paling tidak butuh waktu dua sampai tiga bulan untuk mempersiapkan upacara pembuatan perahu. Kayu yang digunakan tak boleh sembarang. Mereka mencari pohon –utamanya pohon ulin– yang panjang dan besar.

Paling tidak ukuran pohonnya bisa dipeluk oleh tiga orang. Pohon pun tak ditebang sembarang saja. Ada ritual yang dilakukan. Suatu ritual yang menegaskan aliran kepercayaan animisme masih diyakini masyarakat setempat.

Persiapan ritual itu membuat seisi desa kian dekat dan akrab. Pria dan wanita bisa dengan mudah saling kenal. Kemudian, kayu diserahkan ke pembuat perahu. Perahu yang dibuat kemudian jadi aset penting atau simbol kekayaan suatu kampung di masa lampau. Biasanya perahu memiliki panjang 25 sampai 30 meter dan lebar satu meter.

“Upacara yang cukup melelahkan tentulah ketika sang kayu harus dihela dari tempatnya roboh sampai ke desa atau pangkalan yang membutuhkannya. Pada umumnya diperlukan waktu dua hingga tiga bulan untuk ini, meskipun seluruh penduduk dewasa — laki-laki dan wanita – dikerahkan dergan tugas masing-masing.”

“Namun hari-hari yang melelahkan ini selalu menarik bagi penduduk karena pada saat-saat itulah pergaulan antara laki-laki dan wanita diberi kelonggaran. Tak mengherankan kalau sehabis upacara ini berlangsunglah perkawinan-perkawinan, tetapi juga tak sedikit perceraian,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Dan Sekaleng Minyak (1974).

Andalan Perayaan Besar

Perlombaan pacu jalur bak pesta rakyat. Pacu jalur kerap menarik perhatian banyak orang. Masing-masing kampung di sepanjang aliran sungai ikut berpartisipasi. Informasi lombanya dengan cepat menyebar ke mana-mana. Penonton yang datang membludak.

Semuanya karena acara pacu jalur memiliki hiburan komplet. Pacu jalur tak melulu hanya lomba. Namun, hiburan pendukung juga bejibun – dari pawai, musik, hingga tarian. Orang-orang lalu kian penasaran dengan lomba pacu jalur yang dikendalikan 35 sampai 70 orang pendayung.

Dua orang di antaranya akan berdiri paling depan dan belakang. Fungsinya untuk memberikan semangat dan aba-aba sesuai dengan kreativitas masing-masing. Perahu pun jadi cepat melaju menuju jarak 800-1.000 meter.

Mulanya tradisi pacu jalur digelar untuk memperingati hari besar Islam – utamanya tahun baru Islam hingga lebaran. Tradisi itu kian eksis pada masa penjajahan Belanda era 1900-an. Perayaan yang tadinya hanya hari besar Islam mulai merambah ke peringatan hari besar di Hindia Belanda (kini: Indonesia).

Pacu jalur digelar untuk memperingat ulang tahun Ratu Wilhelmina dari Belanda di bulan November. Peringatan ulang tahun itu dianggap lazim karena seluruh wilayah jajahan Belanda menggelar hal yang sama. Ambil contoh di Batavia (kini: Jakarta) turut menggelar Pasar Gambir (cikal bakal Pekan Raya Jakarta).

Pacu jalur kian istimewa karena hadiahnya cukup prestisius. Antara lain bendera marewa dari pemuka adat, uang tunai, kerbau betina, sapi, hingga kambing. Belakangan tradisi pacu jalur sering dimainkan perayaan Kemerdekaan Indonesia tiap tanggal 17 Agustus. 

“Kesenian yang spesifik Taluk adalah pacu jalur (lomba sampan) yang diadakan waktu perayaan rakyat, tetapi zaman Belanda diadakan untuk meperingati hari lahir Ratu Belanda,” tertulis dalam buku keluaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berjudul Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Riau (1983).