Perundungan Tak Boleh Dianggap Dinamika Biasa dalam Perkembangan Anak

Perundungan Tak Boleh Dianggap Dinamika Biasa dalam Perkembangan Anak

JAKARTA – Suasana salat Jumat di SMAN 72 yang seharusnya berlangsung hikmat menjadi momen mencekam dan berpotensi meninggalkan trauma mendalam bagi para korban. 

Setidaknya terjadi dua ledakan di lingkungan SMAN 72 Jakarta Utara pada Jumat (7/11/2025). Menurut salah satu saksi, ledakan pertama terjadi sekitar pukul 12.00 WIB, dan ledakan kedua terjadi tak beselang lama.

Yang mengejutkan, terduga pelaku adalah salah satu dari siswa di sekolah tersebut. Ia juga menjadi satu dari beberapa korban yang terluka paling serius akibat ledakan itu. Menurut data Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, sebanyak 96 orang yang didominasi siswa menjadi korban luka-luka akibat insiden tersebut.

Terlambat Tangani Perundungan

Insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta ini menyita perhatian banyak kalangan, karena terduga pelakunya adalah seorang siswa berinisial FN. Muncul dugaan pelaku ingin membalas dendam karena ia sendiri adalah korban bullying atau perundungan.

Sejauh ini, Densus 88 bersama Ditreskrimum Polda Metro Jaya masih mendalami motif di balik peristiwa tersebut. Mereka masih melakukan analisa barang bukti dari tempat kejadian perkara, hasil penggeledahan, serta keterangan sejumlah saksi.

Dua personel Gegana Brimob Polda Metro Jaya berjaga di tempat terjadinya ledakan di SMAN 72 Jakarta, Jakarta, Jumat (7/11/2025). (ANTARA/Ika Maryani/foc/pri)

Aktivitas media sosial terduga pelaku juga dilakukan demi menelusuri kemungkinan pelaku pernah bergabung dalam grup atau komunitas daring yang memiliki afiliasi dengan kelompok teror tertentu.

Sejumlah teori merebak, masyarakat menebak-nebak apa pemicu si pelaku melakukan aksi tersebut. Namun tak sedikit yang menduga ia diselimuti perasaan marah luar biasa yang terpendam, kebingungan, kegelisahan.

Dugaan bahwa pelaku adalah korban bullying yang memendam kemarahan luas biasa juga menjadi sorotan psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel. Satuan pendidikan, idealnya adalah tempat yang paling aman tapi justru berubah menjadi arena perundungan yang tak kunjung usai.

Peristiwa di SMAN 72 Jakarta tidak hanya menjadi alarm bagi pendidikan Tanah Air, tapi menjadi bukti tambahan tentang bagaimana kita terlambat menangani perundungan atau bullying, kata Reza.

“Keterlambatan itu membuat korban, setelah menderita sekian lama, akhirnya bertarung sendirian dan dalan waktu sekejap bergeser statusnya menjadi pelaku kekerasan, pelaku brutalitas, dan julukan-julukan berat sejenis lainnya,” ucap Reza melalui pesan singkat kepada VOI.

Ledakan terjadi di SMA 72 Jakarta, Jumat (7/11), dan menyebabkan puluhan siswa mengalami luka serta dilarikan ke rumah sakit. Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, terduga pelaku merupakan siswa di sekolah tersebut. (ANTARA)

Keterlambatan ini adalah hal yang memilukan, korban bullying seringkali mengalami viktimisasi berulang. Viktimisasi pertama ketika ia dirundung teman-temannya, kedua terjadi saat korban mencari pertolongan. Alih-alih mendapat bantuan, korban justru sering diabaikan dan masalahnya dianggap sepele, sehingga terpaksa bertahan dan berdoa, sehingga terjadikan viktimisasi ketiga.

“Puncak kesengsaraan korban adalah kekerasan terhadap diri sendiri atau terhadap pihak lain,” ucapnya.

“Belum sempat kita memberikan pertolongan kepada dia selaku korban, justru hukuman berat yang tampaknya sebentar lagi akan kita timpakan kepada dia sebagai pelaku. Getir, menyedihkan,” kata Reza menambahkan.

Perundungan Bukan Hanya Perhatian Sekolah

Persoalan bullying ini sudah menjadi perhatian luas sejak lama. Masalah perundungan bisa dibilang seperti lingkaran setan, karena, 90 persen pelaku bullying ternyata juga berstatus sebagai korban. Untuk itu, data tersebut membuat persoalan ini tidak bisa dipandang hitam putih belaka.

Reza menuturkan, idealnya, perilaku perundungan tidak lagi ditinjau sebatas sebagai dinamika jamak dalam proses perkembangan anak. “Perilaku perundungan sudah semestinya disikapi sebagai agresi berkepanjangan dari anak-anak yang mengekspresikan dirinya dengan cara berbahaya, sehingga harus dicegat secepat dan seserius mungkin,” tegasnya.

“Menjadikan bullying sebagai perkara pidana pun masuk akal,” ujar Reza mengimbuhkan.

Sejumlah siswa berkumpul di halaman sekolah untuk mengambil barang-barang yang tertinggal di SMA Negeri 72 Jakarta, Sabtu (8/11/2025). (ANTARA /Hafidz Mubarak A/nym)

Sementara, Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Andik Matulessy mengatakan, setiap perundungan pasti berdampak negatif. Korban bisa bersikap pasif atau diam tapi mematikan, seperti mengakibatkan depresi hingga bunuh diri. Namun ada pula yang menyikapinya dengan aktif membalas melakukan kekerasan seperti yang dilakukan terduga pelaku pengeboman SMAN 72 Jakarta.

“Dendam berkepanjangan pada anak itu bisa diluapkan dalam tindakan kekerasan yang destruktif dengan alat hingga menimbulkan korban,” kata Andik, mengutip Kompas.

Lembaga pendidikan, kata dia, harus selalu menekankan bahwa kekerasan sekecil apa pun tidak bisa ditolerir. Untuk itu, sistem pendidikan karakter mulai dari pembinaan, pengawasan, pelaporan, hingga penindakan harus dipertegas demi menciptakan satuan pendidikan yang aman.

Masalah kekerasan pada anak juga seharusnya tidak hanya menjadi perhatian sekolah, tapi juga orang tua, yang harus lebih peka dalam mendeteksi anak jika mengalami perundungan. Komunikasi dengan anak harus diperkuat supaya anak mampu menceritakan hal apa pun, termasuk tindakan kekerasan yang ia alami.

”Jadi, masalah kekerasan harus menjadi perhatian bagi semua pihak untuk tidak membiarkan kekerasan sekecil apa pun terjadi pada anak,” pungkasnya.