Susi menjelaskan, peristiwa ledakan di SMAN 72 Jakarta masuk dalam kategori tindak pidana lain yang mengancam keselamatan jiwa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang pelindungan Saksi dan Korban.
Artinya, kata dia, meskipun kasus ini tidak termasuk dalam kelompok tindak pidana khusus seperti terorisme, ancaman terhadap nyawa korban menjadi dasar hukum kuat bagi korban untuk mendapatkan pelindungan LPSK.
Selain itu, karena mayoritas korban adalah anak, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pelindungan Anak turut diberlakukan.
Di dalam undang-undang tersebut, anak korban berhak atas pelindungan dan restitusi, yaitu ganti rugi yang dibayarkan oleh pelaku atas kerugian yang dialami anak. Oleh karena itu, LPSK menegaskan, seluruh korban anak dalam kasus ini berhak diproses permintaannya untuk restitusi sesuai kerugian yang timbul.
Adapun bentuk pelindungan yang diajukan oleh Polda Metro Jaya, yakni perhitungan restitusi dan melakukan pelindungan dalam bentuk pendampingan korban dalam menjalani proses hukum.
Terkait hal itu, Susi mengatakan pihaknya akan menghitung restitusi masing-masing korban yang dibebankan kepada pelaku, sesuai mandat Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
“Restitusi adalah hak anak sebagai korban. Nilainya akan dihitung berdasarkan kerugian nyata yang dialami, termasuk biaya medis, psikologis, serta penderitaan yang dialami oleh korban,” katanya.
“Dalam perkara pelaku anak, restitusi dapat dibayarkan oleh pihak ketiga sesuai ketentuan hukum. Fokus LPSK adalah memastikan hak itu diterima oleh setiap anak korban,” imbuh dia.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5425671/original/057346500_1764234430-WhatsApp_Image_2025-11-27_at_15.44.43.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)