TRIBUNNEWS.COM – Israel dilaporkan mengancam akan menganeksasi atau mencaplok sebagian Jalur Gaza.
Ancaman seperti itu adalah yang pertama kali sejak perang di Gaza meletus tanggal 7 Oktober 2023.
Menurut Israel, aneksasi itu adalah balasan jika Hamas menyakiti warga Israel yang disanderanya.
Selasa malam, (18/3/2025, Channel 12 melaporkan ancaman tersebut sudah disampaikan kepada Hamas. Ancaman itu keluar di tengah serangan-serangan udara terbaru Israel di Gaza.
Sementara itu, seorang anggota Politbiro Hamas yang bernama Izzat al-Risheq mengatakan Israel akan mengorbankan nyawa para sandera jika meneruskan perang di Gaza.
“Keputusan [Perdana Menteri Israel Benjamin] Netanyahu untuk kembali berperang adalah keputusan yang mengorbankan sander Israel dan merupakan hukuman mati bagi mereka,” ujar al-Risheq kepada CNN.
“Lewat perang dan penghancuran, musuh tidak akan mencapai yang gagal dicapainya melalui perundingan.”
LEDAKAN BOM – Bola api dari ledakan bom dari serangan udara Israel di Jalur Gaza, Selasa (18/3/2025). Serangan yang berlangsung di tengah gencatan senjata dengan Hamas ini dilaporkan menewaskan lebih dari 400 korban, termasuk wanita dan anak-anak. (RNTV/TangkapLayar)
Dikutip dari All Israel News, ada banyak anggota keluarga sandera yang memprotes kebijakan Israel untuk kembali berperang. Perang itu disebut membuat para sandera menghadapi risiko lebih besar.
Noa Argamani, salah satu sandera yang dibebaskan, mengungkapkan kekecewaannya di media sosial X. Kekasihnya masih disandera di Gaza.
“Perang berlanjut. Dua kata, dan banyak emosi di dalamnya. Tiba-tiba semua harapan hancur seketika. Dua kata, tetapi bagi sandera di dalamnya, berarti ledakan dan kebisingan yang membawa kembali ketakukan akan kematian,” ujar Argamani.
Menurut Channel 12, ancaman Israel disampaikan untuk menekan Hamas. Hilangnya wilayah Gaza disebut lebih buruk ketimbang hilangnya pejuang atau warga sipil.
Banyak pakar di Israel, terutama sayap kanan, yang sudah lama meminta pemerintah Israel untuk mengancam akan mencaplok wilayah Gaza. Ancaman itu disebut menjadi satu-satunya cara pencegahan yang efektif terhadap Hamas.
Adapun beberapa organisasi HAM sudah menduga Israel sedang menyiapkan skenario pencaplokan Gaza lewat pembuatan zona penyangga atau buffer zone di sepajang perbatasan Gaza.
Foto-foto satelit memperlihatkan bahwa Israel telah menghancurkan semua bangunan dan infrastruktur berjarak sekitar 1 km dari perbatasan.
Kantor berita Associated Press mengatakan zona penyangga seperti itu sudah membuat wilayah Gaza berkurang hingga 60 km persegi.
Channel 12 belum merinci area mana saja di Gaza yang akan dianeksasi. Meski demikian, ada kemungkinan Israel bakal mengklaim sebagian zona penyangga itu sebagai wilayah Israel.
Sementara itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengaku sedang mengambil langkah yang diperlukan untuk menerapkan rencana pertahanan. Rencana itu ditujukan untuk meningkatkan keamanan di Israel selatan.
SERANGAN UDARA ISRAEL – Tangkap layar Khaberni yang menunjukkan bekas ledakan bom dari serangan udara Israel di Beit Lahia, Gaza Utara, Sabtu (14/3/2025). Israel berdalih, serangan menargetkan terduga milisi perlawanan yang hendak memasang perangkap. Sejumlah saksi menuturkan kalau para korban adalah warga sipil, termasuk 4 jurnalis dari 9 korban yang dilaporkan. (Khaberni)
Mengapa Israel melanjutkan perang?
Pemerintah Israel menyebut beberapa alasan di balik keputusannya untuk melanjutkan perang di Gaza.
Menteri Pertahanan Israel Katz mengklaim serangan terbaru Israel dipicu oleh Hamas yang menolak membebaskan sandera dan mengancam tentara serta masyarakat Israel.
Sementara itu, juru bicara Kementerian Pertahanan Israel menyebut perang dilanjutkan karena Hamas menolak dua usul yang disodorkan oleh Steve Witkoff, utusan Presiden AS Donald Trump.
Adapun seorang pejabat Israel mengatakan serangan udara terbaru Israel barulah fase pertama aksi militer Israel yang bertujuan untuk menekan Hamas agar membebaskan lebih banyak sandera.
Meski demikian, dikutip dari CNN, politik dalam negeri Israel menjadi faktor penting dalam keputusan Israel melanjutkan perang.
Kaum sayap kanan selalu membenci gencatan senjata di Gaza karena dianggap sebagai penyerahan diri terhadap Hamas.
Mereka ingin semua warga Palestina meninggalkan Gaza, dan Israel membangun kembali pemukiman di sana.
Netanyahu memerlukan faksi sayap kanan agar bisa berkuasa. Salah satu menteri sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, sudah keluar dari kabinet untuk memprotes gencatan.
Sementara itu, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mengancam akan keluar dari pemerintahan jika Israel tidak melanjutkan perang. Hal itu bisa meruntuhkan koalisi pemerintahan Netanyahu.
(*)