Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the acf domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/xcloud.id/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Permesta dan jejak panjang desentralisasi politik Indonesia – Xcloud.id
Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Permesta dan jejak panjang desentralisasi politik Indonesia

Permesta dan jejak panjang desentralisasi politik Indonesia

Pemberontakan PRRI/Permesta (sumber: lampungsai.com) (https://tinyurl.com/4mrpdfjs)

13 April 1965: Permesta dan jejak panjang desentralisasi politik Indonesia
Dalam Negeri   
Editor: Calista Aziza   
Minggu, 13 April 2025 – 06:00 WIB

Elshinta.com – Pada tanggal 13 April 1965, ketegangan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan semakin menguatnya gerakan Permesta (Perjuangan Semesta), sebuah pemberontakan yang dipimpin oleh kelompok militer dan politisi yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah pusat. Permesta dimulai di Sulawesi Utara sebagai respons terhadap kebijakan pemerintah Presiden Soekarno yang dianggap merugikan daerah-daerah tertentu, terutama di luar Jawa. Gerakan ini merupakan bagian dari rangkaian pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia pada masa itu, yang juga termasuk PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra.

Permesta dimulai pada tahun 1957, ketika kelompok-kelompok militer dan politisi daerah menginginkan otonomi yang lebih besar dan perbaikan dalam distribusi sumber daya serta perhatian lebih dari pemerintah pusat. Tokoh utama dalam pemberontakan ini adalah mantan perwira tinggi Angkatan Darat, seperti Letnan Kolonel Andi Aziz, yang merasa bahwa pemerintahan pusat terlalu terpusat di Jakarta dan mengabaikan kepentingan daerah. Para pemberontak Permesta menuntut agar kebijakan politik dan ekonomi lebih berpihak kepada daerah-daerah di luar Jawa, dengan fokus utama pada pembangunan infrastruktur, pemerataan kesejahteraan, serta pengelolaan sumber daya alam yang lebih adil.

Permesta berkembang menjadi pemberontakan yang cukup besar, dan pada awalnya didukung oleh beberapa kalangan militer serta sejumlah masyarakat yang kecewa dengan pemerintahan Soekarno yang cenderung otoriter dan lebih mengutamakan kebijakan politik luar negeri seperti Konfrontasi dengan Malaysia. Konflik ini pun semakin intensif setelah pemberontakan PRRI di Sumatra, yang terjadi sekitar waktu yang hampir bersamaan. Pemerintah pusat merespons dengan keras, mengirimkan pasukan untuk meredam pemberontakan di daerah-daerah tersebut, yang akhirnya memunculkan ketegangan antara pihak yang setia kepada pemerintahan pusat dan mereka yang mendukung gerakan otonomi.

Pada tanggal 13 April 1965, situasi semakin memanas dengan pertempuran terbuka antara pasukan pemerintah dan pasukan Permesta. Meskipun pada awalnya pemerintah berusaha menyelesaikan masalah ini dengan jalan diplomasi, ketidakpuasan yang mendalam terhadap kebijakan yang diterapkan oleh Soekarno dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan daerah-daerah semakin memperburuk keadaan. Permesta akhirnya tidak hanya menjadi masalah politik, tetapi juga menciptakan ketegangan sosial yang mempengaruhi stabilitas negara.

Pemberontakan ini berlanjut hingga 1966, meskipun pada tahun tersebut pergerakan Permesta akhirnya mengalami kekalahan. Namun, dampak dari pemberontakan ini cukup besar, karena mengungkapkan adanya ketidakpuasan yang meluas terhadap pemerintah pusat dan menyoroti ketegangan antara wilayah-wilayah di luar Jawa dengan pusat kekuasaan di Jakarta. Pemberontakan Permesta menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah merdeka, masih terdapat tantangan besar dalam membangun kesatuan nasional yang sejati, yang didorong oleh perbedaan politik, ekonomi, dan sosial antara berbagai daerah di Indonesia.

Dampak jangka panjang dari pemberontakan Permesta terhadap politik Indonesia saat ini dapat dilihat dari beberapa aspek penting yang membentuk dinamika politik dan pemerintahan di negara ini. Pemberontakan Permesta, meskipun terjadi lebih dari setengah abad yang lalu, memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan politik Indonesia, baik dalam hal desentralisasi, hubungan pusat dan daerah, maupun proses pembentukan identitas nasional.

Salah satu dampak terbesar dari pemberontakan Permesta adalah kesadaran yang muncul mengenai pentingnya desentralisasi kekuasaan. Pada masa pemerintahan Soekarno, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan yang sangat terpusat, di mana Jakarta memegang kontrol penuh atas kebijakan politik, ekonomi, dan sosial. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang otoriter ini mendorong wilayah-wilayah seperti Sulawesi Utara untuk menginginkan otonomi yang lebih besar. Walaupun pemberontakan Permesta berakhir dengan kekalahan, ketegangan tersebut menyoroti pentingnya memberi ruang bagi daerah untuk mengatur urusan mereka sendiri.

Setelah era Orde Baru, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, Indonesia mulai mengimplementasikan kebijakan desentralisasi yang lebih luas. Pada tahun 2001, melalui Undang-Undang Otonomi Daerah, Indonesia memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan pemerintahan dan sumber daya alam mereka. Kebijakan ini dapat dilihat sebagai respons terhadap perasaan ketidakadilan yang telah lama ada, yang juga tercermin dalam pemberontakan Permesta. Meskipun desentralisasi tidak semata-mata lahir dari Permesta, peristiwa tersebut berkontribusi pada pemikiran tentang pentingnya hubungan yang lebih seimbang antara pemerintah pusat dan daerah.

Selain itu, pemberontakan Permesta juga memperkuat pemahaman tentang pentingnya identitas nasional yang inklusif. Ketegangan antara pusat dan daerah pada masa itu mencerminkan ketidakpuasan terhadap dominasi Jawa, yang sering dianggap lebih menguntungkan dalam segi politik dan ekonomi. Permesta menyoroti bagaimana perbedaan wilayah dapat memengaruhi hubungan antara masyarakat di daerah dan pemerintah pusat. Dalam konteks politik Indonesia saat ini, meskipun negara telah berkembang menjadi lebih inklusif, masih ada ketegangan sesekali terkait dengan ketidakmerataan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, meskipun secara umum kebijakan pemerintah berfokus pada pemerataan pembangunan.

Dalam hal politik regional, meskipun pemberontakan Permesta gagal, hal itu membuka jalan bagi pemahaman yang lebih dalam mengenai pentingnya mendengarkan suara-suara dari daerah. Kini, Indonesia memiliki lebih banyak partai politik daerah yang berusaha untuk mewakili kepentingan lokal dalam panggung politik nasional. Permesta mengajarkan bahwa suara dari daerah perlu didengar, dan bahwa konflik yang berakar dari ketidakpuasan terhadap kebijakan pusat bisa mengancam stabilitas politik negara jika tidak ditangani dengan baik.

Terakhir, dampak pemberontakan Permesta juga terlihat dalam toleransi politik di Indonesia saat ini. Meskipun banyak peristiwa serupa terjadi pada masa itu yang melibatkan separatisme dan perlawanan terhadap pemerintah pusat, Indonesia kini lebih mengedepankan dialog dan upaya untuk menciptakan perdamaian dalam mengatasi perbedaan politik dan sosial. Keberagaman Indonesia yang luas, dengan berbagai suku, agama, dan budaya, juga menjadikan pentingnya pendekatan yang lebih inklusif dan merangkul semua pihak dalam membangun negara.

Secara keseluruhan, pemberontakan Permesta memberi pelajaran penting mengenai pentingnya keseimbangan antara pusat dan daerah dalam sistem pemerintahan Indonesia, serta bagaimana perjuangan daerah untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar menjadi bagian dari proses panjang menuju demokratisasi dan pembentukan identitas nasional Indonesia yang lebih adil dan inklusif.

Sumber : Sumber Lain

Merangkum Semua Peristiwa