Pergeseran Putusan MK

13 November 2023, 21:14

Hakim MK Anwar Usman usai dicopot dari jabatan Ketua MK, Rabu (8/11/2023). Foto: Aditia Noviansyah kumparanJika melihat Putusan MK terbaru yaitu Putusan MK No. 55/PUU-XXI/2023, terkait dengan batas umur pencalonan presiden dan wakil presiden, ada yang menarik untuk dibahas. Yaitu terkait dengan jenis Putusan MK yang memutus bersyarat. Dalam Putusan MK tersebut batas umur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tetap 40 tahun, akan tetapi diperbolehkan jika pernah atau sedang menjabat jabatan publik yang dipilih melalui pemilihan umum (termasuk pemilihan kepala daerah), artinya bisa merujuk kepada kepala daerah tingkat kota/kabupaten atau walikota/bupati dan provinsi atau gubernur dan juga legislatif seperti DPR, DPD, atau DPRD.Sederhananya, MK dalam ini tidak membatalkan Pasal UU Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tersebut, akan tetapi memberikan syarat tambahan.Secara frasa normanya seperti ini, “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.” (Baca lebih lanjut Berita MK 16/10/23, Utami Argawati).Dari hal tersebut, jika diperdalam terdapat pembahasan yang menarik, yaitu jenis putusan MK yang memberikan syarat, baik itu konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) atau inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional). Selama ini masyarakat hanya mengetahui bahwa MK merupakan negative legislator atau hanya boleh membatalkan suatu pasal dalam UU atau UU secara keseluruhan jika pasal atau UU tersebut bertentangan dengan UUD. Dalam perkembangannya MK tidak hanya membatalkan suatu pasal atau UU secara keseluruhan. Akan tetapi juga menambahkan norma dalam pasal yang dirasa kurang tepat terhadap konstitusi, atau memiliki makna yang perlu diperjelas agar tidak bertentangan dengan konstitusi, biasa disebut dengan positive legislator. Lalu tidak hanya menambahkan suatu norma, akan tetapi perkembangannya MK juga menambahkan syarat, jika suatu pasal atau UU tersebut memiliki syarat bahwa itu konstitusional atau inkonstitusional. Jika dilihat ada 3 perjalanan Putusan MK: Pertama, MK sebagai negative legislator; Kedua, MK sebagai positive legislator; Ketiga, MK memberikan syarat dalam putusannya.Negative LegisatorPada dasarnya MK dalam UUD NRI Tahun 1945 memilki kewenangan untuk menguji UU terhadap UUD atau yang dikenal banyak orang dengan judicial review, yang dilakukan pada awalnya adalah membatalkan materiil atau isi dari UU tersebut, baik secara keseluruhan atau sebagian pasal tertentu yang bertentangan dengan konstitusi.Hal tersebut berdasar kepada konsep dasar kelembagaan Mahkamah Konstitusi untuk menyeimbangkan –yang berangkat dari prinsip check and balances— fungsi DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang atau positive legislator.Konsep dasar tersebut dikemukakan oleh Hans Kelsen, ia mengatakan seperti ini, bahwa dalam negative legislation atau pembatalan suatu UU juga merupakan bagian dari suatu proses legislasi (Baca lebih lanjut Maruarar Siahaan di Jurnal Hukum No. 3, Vol.16, Thn. 2009). Yang kita tahu tentu ini untuk menjamin hak konstitusional warga negara apabila hak tersebut dilanggar dalam suatu UU atau peraturan di bawahnya dan menegakkan konstitusi sebagai perjanjian ulung negara Indonesia.Positive LegislatorAkan tetapi, dalam perkembangannya Mahkamah Konstitusi dalam periode kepemimpinan Mahfud MD melakukan terborosan untuk melakukan positive legislator, dengan menambahkan norma dalam putusan MK. Mahfud MD dalam hal ini meminjam pendekatan hukum progresif, menurutnya kita tidak boleh terikat dengan Undang-Undang yang ada, akan tetapi juga melihat kemanfaatan sehingga mewujudkan keadilan yang substantif.Terkait dengan hal ini menurut Jimly, MK harus bisa menggali nilai-nilai konstitusi dengan jangkauan serta perspektif yang luas. Tentu ini akan menjadi masalah jika MK melebihi batas kewenangannya, menurut Fitria dalam Tesisnya juga mengatakan perlu ada Batasan dalam menghasilkan suatu putusan positive legislator. Dalam hal ini saya juga ingin memberikan batasan terkait hal ini, yaitu hal-hal yang dianggap open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang seharusnya digodok DPR bersama Presiden untuk maslahat orang banyak, serta yang secara rigid diatur UUD untuk didelegasikan kepada pembentuk UU. Kebijakan hukum terbuka sendiri, diartikan sebagai suatu kebebasan bagi pembentuk undang-undang untuk mengambil kebijakan hukum, yang di dalamnya mengatur subjek, objek, perbuatan, peristiwa, akibat dalam bentuk norma (Baca lebih Iwan Satriawan dan Tanto Lailam di Jurnal Konstitusi).Putusan BersyaratPerkembangan dari MK sebagai negative legislator dan positive legislator mengantarkan kepada putusan bersyarat (conditionally decision), baik itu dari konstitusional bersyarat maupun inkonstitusional bersyarat. Bentuknya bisa berbagai macam, seperti Putusan yang bersifat tafsiran atau bersyarat; Putusan yang menyatakan bertentangan dengan UUD, namun tidak dibatalkan; Putusan yang memerintahkan Pembentuk UU untuk melakukan perbaikan UU dengan batas waktu; Putusan yang menoleransi berlakunya aturan yang bertentang dengan UUD hingga batas waktu tertentu (Baca editorial Majalah Konstitusi No. 178, 2021).Tentu jika melihat Putusan No. 55/PUU-XXI/2023 yang mensyaratkan jabatan publik yang dipilih dalam pemilihan umum (termasuk Pilkada) maka ini termasuk konstitusional bersyarat dengan menambahkan syarat berbentuk norma (positive legislator). Akan tetapi tetap, menurut Penulis, terdapat batasan terkait open legal policy khususnya yang sudah diatur secara rigid dalam UUD yang didelegasikan kepada pembentuk UU.

Partai

Institusi

K / L

BUMN

NGO

Organisasi

Perusahaan

Kab/Kota

Provinsi

Negara

Topik

Kasus

Agama

Brand

Club Sports

Grup Musik

Hewan

Tanaman

Produk

Statement

Fasum

Transportasi