Jakarta: Produk palsu masih menjadi ancaman serius bagi perekonomian Indonesia. Menurut studi yang dilakukan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) bersama Universitas Pelita Harapan, kerugian negara akibat produk ilegal ini mencapai Rp291 triliun.
Direktur Eksekutif MIAP, Justisiari P. Kusumah, menegaskan dampak dari pemalsuan produk tidak hanya merugikan pemilik hak kekayaan intelektual, tetapi juga mengurangi potensi penerimaan pajak dan menghambat penciptaan lapangan kerja.
“Kemajuan teknologi dan metode distribusi yang semakin kompleks menjadikan pengawasan terhadap produk palsu sebagai tantangan yang tidak sederhana,” ujar Justisiari dalam keterangan tertulis, Rabu, 12 Maret 2025.
Pelabuhan dan pasar tradisional jalur utama
Lebih lanjut, ia menyebut bahwa pelabuhan dan pasar tradisional menjadi jalur utama masuknya produk ilegal. Bahkan, platform e-commerce juga menjadi tantangan baru dalam penyebaran barang palsu.
“Terlebih lagi, semakin besarnya perubahan gaya belanja melalui platform e-dagang menjadi sebuah tantangan baru saat ini terkait juga dengan adanya temuan-temuan peredaran produk palsu/ilegal melalui jalur distribusi platform e-dagang kepada konsumen,” jelas Justisiari.
Barang palsu dan dampaknya terhadap ekonomi
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Razilu, juga menyoroti dampak besar dari barang palsu. Berdasarkan data dari OECD dan Kantor Kekayaan Intelektual Uni Eropa, perdagangan barang palsu dan bajakan mencapai 3,39 persen dari total perdagangan dunia pada 2019 atau setara dengan USD509 miliar.
“Peredaran barang palsu tidak hanya merugikan pemilik hak kekayaan intelektual, tetapi juga konsumen serta perekonomian nasional secara keseluruhan. Produk palsu juga dapat menghambat inovasi dan kreativitas, merugikan negara dalam sektor pajak, serta memberikan dampak negatif terhadap keselamatan konsumen,” kata Razilu.
Untuk mengatasi hal ini, DJKI terus meningkatkan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya perlindungan Kekayaan Intelektual.
Peran bea cukai dalam penegakan hukum
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) juga mengambil peran aktif dalam penegakan hukum terkait Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Kepala Seksi Kejahatan Lintas Negara DJBC, R. Tarto Sudarsono, menyebut Indonesia masih masuk dalam Priority Watch List (PWL) oleh United States Trade Representative (USTR) karena tingginya pelanggaran HKI.
Untuk mengatasi hal ini, DJBC menerapkan dua mekanisme utama, yaitu pengawasan aktif melalui ex-officio dan pengendalian niaga berdasarkan laporan dari pemilik merek.
Sepanjang 2024, pendaftaran merek untuk perlindungan meningkat dua kali lipat dibanding tahun sebelumnya, dengan 76 merek telah terdaftar hingga Februari.
Dalam regulasi, Bea Cukai memiliki landasan hukum yang kuat, seperti PP No. 20 Tahun 2017 dan PMK No. 40 Tahun 2018, yang memberikan kewenangan untuk menahan barang yang melanggar HKI sebelum masuk ke pasar.
Kolaborasi jadi kunci utama
Untuk memberantas peredaran barang palsu, diperlukan kerja sama antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat. Tanpa sinergi yang kuat, produk-produk ilegal akan terus beredar dan merugikan perekonomian nasional.
“Peran Bea Cukai di perbatasan sangat penting untuk mencegah barang-barang yang melanggar HKI beredar di pasar. Jika sudah ada rekomendasi dari pemegang hak, kami bisa langsung bertindak untuk menahan barang di pelabuhan sebelum diedarkan,” tutur Tarto.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
dan follow Channel WhatsApp Medcom.id
(ANN)