Peraturan Kepolisian Vs Penataan Jabatan di Instansi Pemerintah
Menulis adalah aktualisasi diri
Artikel ini adalah kolom, seluruh isi dan opini merupakan pandangan pribadi penulis dan bukan cerminan sikap redaksi.
TERBITNYA
Peraturan Kepolisian (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 Tentang pengisian Jabatan Sipil oleh Polri aktif menandai dinamika baru dalam penataan aparatur negara.
Regulasi ini memunculkan perdebatan publik karena membuka ruang penugasan anggota Polri aktif pada sedikitnya 17 kementerian dan lembaga negara, sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang konsistensinya dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (
ASN
) serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 114/PUU-XXIII/2025.
Di tengah agenda reformasi birokrasi, isu ini layak dicermati bukan sebagai polemik sektoral, melainkan cerminan komitmen negara terhadap tertib hukum dan profesionalisme birokrasi sipil.
Peraturan kepolisian berhadap-hadapan atau diperlawankan, versus upaya penataan jabatan di pemerintahan.
UU ASN 20/2023 menempatkan sistem merit, netralitas, dan profesionalisme sebagai fondasi utama pengisian jabatan di instansi pemerintah.
Jabatan publik hanya dapat diisi oleh PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) melalui mekanisme seleksi yang menjamin kualifikasi, kompetensi, dan kinerja.
Prinsip ini dirancang untuk mencegah patronase serta memastikan birokrasi bekerja secara objektif dan akuntabel.
Karena itu, setiap kebijakan yang berkaitan dengan penempatan aparatur negara—termasuk aparat kepolisian—perlu diuji secara cermat agar tidak mengaburkan batas antara jabatan sipil dan aparat keamanan aktif.
Dalam kerangka tersebut, anggota Polri aktif secara yuridis bukan ASN. Mereka tunduk pada rezim kepegawaian yang berbeda berdasarkan Undang-undang Nomor: 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ketika Perpol 10/2025 membuka ruang penugasan polisi aktif ke 17 kementerian dan lembaga negara, persoalan tidak berhenti pada aspek administratif penugasan, melainkan menyentuh substansi pengisian jabatan di instansi pemerintah.
Dalih penugasan tidak serta-merta menghilangkan fakta bahwa di banyak kementerian dan lembaga, polisi aktif yang ditempatkan menjalankan fungsi strategis: memimpin unit kerja, mengelola sumber daya, serta mengambil keputusan administratif.
Dalam kondisi demikian, polisi aktif tersebut secara de facto menjalankan jabatan sipil, meskipun secara de jure tidak berstatus ASN.
Situasi ini menciptakan distorsi terhadap sistem merit yang diamanatkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara.
ASN karier harus melalui seleksi terbuka, uji kompetensi, dan evaluasi kinerja berjenjang, sementara jabatan yang sama dapat diisi oleh aparat non-ASN melalui mekanisme penugasan institusional.
Jika praktik ini dinormalisasi, maka sistem ASN berisiko kehilangan maknanya sebagai instrumen profesionalisasi birokrasi.
Kontroversi ini semakin relevan ketika dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh menduduki jabatan sipil di luar institusi Polri kecuali setelah mengundurkan diri atau pensiun.
Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat serta menjadi rujukan konstitusional yang wajib ditaati seluruh lembaga negara.
Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Perpol berada di bawah undang-undang, apalagi putusan Mahkamah Konstitusi yang memiliki daya ikat konstitusional.
Dengan demikian, Perpol 10/2025 berpotensi menimbulkan konflik norma: di satu sisi UU ASN membatasi subjek pengisi jabatan di instansi pemerintah, sementara di sisi lain Perpol membuka ruang luas bagi aparat non-ASN untuk mengisi jabatan strategis di 17 kementerian dan lembaga.
Jika dibiarkan, praktik ini dapat melahirkan dualisme sistem kepegawaian nasional dan melemahkan tertib hukum. Implikasi jangka panjangnya tidak sederhana.
Pertama, profesionalisme birokrasi sipil terancam, karena jalur karier ASN menjadi tidak relevan.
Kedua, netralitas birokrasi berisiko terganggu ketika aparat keamanan aktif masuk ke ruang pengambilan kebijakan sipil.
Ketiga, dari perspektif demokrasi, kondisi ini mengaburkan prinsip supremasi sipil, yang merupakan pilar negara hukum modern.
Perpol 7/2025 memang lebih bersifat administratif internal. Namun, ia tetap berada dalam ekosistem regulasi yang sama, yakni kecenderungan perluasan peran institusi kepolisian melalui peraturan internal tanpa penguatan basis di tingkat undang-undang.
Pada akhirnya, polemik Perpol seharusnya ditempatkan dalam kerangka penataan jabatan publik yang konsisten dengan konstitusi.
Kepatuhan terhadap putusan MK dan UU ASN bukan hambatan efektivitas pemerintahan, melainkan prasyarat bagi birokrasi yang profesional, netral, dan akuntabel.
Koreksi kebijakan adalah bagian wajar dari reformasi, agar tujuan membangun birokrasi modern dan berintegritas tetap terjaga.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Peraturan Kepolisian Vs Penataan Jabatan di Instansi Pemerintah
/data/photo/2024/11/11/6731ae7507976.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)