TRIBUNNEWS.COM – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali memanas.
Presiden AS Donald Trump menegaskan bahwa tak ada satu pun negara yang akan lolos dari kebijakan tarif baru yang sedang disiapkan pemerintahannya.
Melalui unggahan di platform Truth Social, Trump secara terang-terangan menyebut China sebagai negara yang paling buruk memperlakukan produk-produk Amerika.
“TIDAK ADA satu pun yang bisa lolos dari tarif … terutama China yang sejauh ini memperlakukan kita dengan paling buruk!” tulisnya, dikutip dari AFP.
Pernyataan ini muncul setelah China meminta AS mencabut tarif tinggi atas barang-barang mereka.
Namun, pemerintahan Trump hanya memberikan pengecualian sementara terhadap produk teknologi seperti ponsel, laptop, dan perangkat elektronik lain—yang ironisnya sebagian besar diproduksi di China oleh perusahaan-perusahaan AS seperti Apple, Nvidia, dan Dell.
Pada Minggu (13/4/2025), Trump menyatakan bahwa pengecualian itu tidak akan bertahan lama.
Ia mengumumkan sedang meninjau seluruh rantai pasok elektronik dan akan menetapkan tarif baru dalam waktu dekat.
“Kami sedang meninjau semikonduktor dan SELURUH RANTAI PASOK ELEKTRONIK,” ujarnya.
Menteri Perdagangan AS, Howard Lutnick menambahkan bahwa tarif terhadap cip dan semikonduktor kemungkinan akan diberlakukan dalam satu hingga dua bulan.
Menurut Trump, produk seperti ponsel dan komputer juga tidak akan sepenuhnya dikecualikan, karena nantinya akan dikenai tarif yang lebih spesifik.
“Kami ingin membuat cip, semikonduktor, dan produk lainnya di negeri kami sendiri,” katanya kepada wartawan di Air Force One.
Kebijakan baru ini langsung mengguncang pasar. Indeks S&P 500 dilaporkan turun lebih dari 10 persen sejak Trump kembali menjabat pada Januari lalu.
Sektor teknologi sempat berharap akan selamat dari tekanan tarif, terutama setelah Gedung Putih mengumumkan pengecualian untuk produk-produk elektronik pada Jumat (11/4/2025).
Namun harapan itu pupus setelah Lutnick menyatakan bahwa barang-barang tersebut tetap akan dikenakan tarif khusus dalam kebijakan lanjutan.
Tarif baru ini akan difokuskan pada barang strategis seperti cip semikonduktor, produk farmasi, dan elektronik konsumen.
Pemerintah AS bahkan telah menerbitkan daftar 20 kategori produk yang untuk sementara dikecualikan, termasuk komputer, cip memori, dan layar datar.
Namun, Lutnick memastikan sektor-sektor ini tetap akan masuk dalam skema tarif khusus yang tengah disusun.
Di sisi lain, China tidak tinggal diam. Beijing membalas dengan menaikkan bea masuk atas barang-barang AS hingga 125 persen.
Kementerian Perdagangan China menyebut AS sebagai pihak yang harus bertanggung jawab meredakan ketegangan.
“Lonceng yang tergantung di leher harimau hanya dapat dilepaskan oleh tangan yang pernah mengikatnya,” ujar juru bicara kementerian, menyinggung bahwa AS harus menjadi pihak yang menyelesaikan konflik ini.
Di tengah ketegangan, sejumlah tokoh dan pengamat menyerukan agar kebijakan ini dikaji ulang.
Investor kawakan Bill Ackman meminta Trump menunda penerapan tarif selama 90 hari dan menurunkan besaran tarif sementara menjadi 10 persen agar pasar tidak makin terguncang.
Sementara itu, analis pasar Sven Henrich menyindir inkonsistensi kebijakan ekonomi Trump.
“Sentimen pasar hari ini: Reli saham terbesar tahun ini akan terjadi pada hari Lutnick dipecat,” tulisnya di platform X.
Dari sisi politik, Senator Elizabeth Warren menyebut kebijakan tarif Trump sebagai bentuk kekacauan dan korupsi ekonomi.
“Ini bukan kebijakan tarif, melainkan kekacauan dan korupsi,” katanya di acara This Week (ABC).
Dalam wawancara terpisah di Meet the Press, penasihat perdagangan Gedung Putih, Peter Navarro menyatakan AS telah mengundang China untuk bernegosiasi, tetapi juga menuding Beijing terlibat dalam rantai pasok fentanil yang mematikan.
Perwakilan Dagang AS Jamieson Greer menegaskan belum ada rencana pembicaraan langsung antara Trump dan Presiden Xi Jinping.
Ia menuding China sebagai pihak yang memicu konflik lewat tarif balasan, namun tetap membuka kemungkinan kesepakatan dagang dengan negara lain.
“Tujuan saya adalah mencapai kesepakatan yang berarti sebelum 90 hari berakhir dan saya yakin kita akan mencapainya,” ujarnya dalam program Face the Nation di CBS.
Meski begitu, kekhawatiran terhadap dampak ekonomi makin menguat.
Pendiri hedge fund Bridgewater Associates, Ray Dalio, memperingatkan bahwa AS kini berada di ambang resesi.
“Saat ini kita berada pada titik pengambilan keputusan yang krusial. Bila tidak ditangani dengan tepat, akibatnya bisa lebih buruk dari sekadar resesi,” ungkapnya kepada NBC.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)