Jakarta –
Sebagian warga Suriah yang tinggal di berbagai negara merayakan kejatuhan rezim Presiden Bashar al-Assad. Apa makna peristiwa ini bagi masa depan mereka?
Seperti banyak warga Suriah, Youssef, yang sekarang tinggal di Malang, Jawa Timur, merayakan kabar penggulingan rezim Bashar al-Assad. Namun, dia mengaku tidak berkeinginan untuk kembali ke negaranya.
Laki-laki berusia 25 tahun yang meminta agar nama depannya tidak dipublikasikan itu datang ke Indonesia pada tahun 2021. Dia pergi dari negaranya untuk menjadi pelajar di bidang farmasi.
“Saya sudah mau lulus,” ujar Youssef kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (10/12).
Youssef berasal dari Kota Al Qardahahtempat kelahiran Bashar al-Assad dan ayahnya, Hafez al-Assad, yang meninggal dunia tahun 2000.
Umur Youssef baru menginjak 11 tahun ketika perang saudara Suriah pecah pada 2011. Kala itu banyak orang terpaksa pindah atau mengungsi dari Suriah.
“Setengah hidup saya dihabiskan dalam konflik,” ujarnya.
Pasukan pemerintah Suriah berlindung di balik tembok saat bentrokan dengan kelompok militan di Aleppo, 3 November 2012. Pada periode Maret 2011 hingga November 2012, lebih dari 36.000 orang tewas sejak pemberontakan kelompok militan terhadap pemerintahan Assad (AFP)
Bashar al-Assad baru saja digulingkan kelompok militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan faksi-faksi pemberontak sekutu mereka.
Dengan begitu, berakhir sudah rezim keluarga Assad yang dikenal tangan besi selama lebih dari lima dekade.
Sama seperti banyak orang Suriah di penjuru dunia, termasuk jutaan di antara mereka yang mengungsi, Youssef bersuka cita atas kejatuhan rezim Assad.
Walaupun begitu, Youssef menyebut masih banyak hal sumber duka dari Suriah yang membuatnya enggan untuk kembali ke negaranya.
Youssef justru berharap suatu saat dapat memindahkan dua anggota keluarganya yang masih berada di Suriah ke Indonesia.
“Saya merayakan kejatuhan al-Assad. 50 tahun terakhir tidak bisa dikatakan sebagai kehidupan [yang layak],” ujar Youssef.
“Tapi ke mana kita pergi dari sini?”
Youssef menyamakan kondisi Suriah sekarang seperti ketika masyarakat Afghanistan merayakan hengkangnya tentara AS pada Agustus 2021.
Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena setelahnya rezim Taliban menguasai negara itu.
“Saya tidak tahu apakah ini akan terjadi atau tidak, tapi saya tahu kelompok Muslim radikal tidak pernah suka dengan kelompok-kelompok minoritas,” ujar Youssef.
“Kami punya sekte minoritas [di Suriah]. Jadi, ya, saya tidak yakin situasinya akan membaik.”
Youssef mengklaim dirinya memperoleh foto-foto dan video penjarahan yang terjadi di negaranya setelah penggulingan Assad.
Koresponden BBC yang melaporkan dari Suriah, Lina Sinjab, menjadi saksi mata aksi penjarahan, termasuk yang terjadi di kediaman Bashar al-Assad.
Pengungsi Suriah yang tinggal di Turki kembali ke tanah airnya pada 10 Desember 2024 melalui Gerbang Perbatasan Cilvegz di Hatay, Turki (Getty Images)
Dibandingkan dengan pengungsi dari negara-negara seperti Afghanistan dan Myanmar yang mencapai ratusan hingga ribuan orang, jumlah pengungsi dari Suriah di Indonesia berjumlah puluhan orang.
Merujuk data Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), terdapat 60 warga Suriah yang telah mendapat status pengungsi di Indonesia.
Angka ini tidak termasuk warga Suriah yang berada di Indonesia, tapi masih tergolong sebagai pencari suaka.
Adapun menurut catatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, ada 713 warga negara Suriah yang punya izin tinggal aktif di Indonesia per Desember 2024. Mereka memegang izin tinggal sebagai diplomat, pekerja, dan pelajar.
Seorang perempuan bersenjata mengacungkan tanda V yang berarti kemenangan saat warga Kurdi Suriah merayakan jatuhnya ibu kota Damaskus ke tangan pemberontak di Qamishli pada 8 Desember 2024 (Getty Images)
Apa pendapat orang-orang Suriah di negara-negara lainnya
Di Ankara, Turki, ratusan warga Suriah bersiul, menari, bernyanyi, dan meneriakkan yel-yel dalam perayaan di Altnda. Sejak dini hari, mereka merayakan kabar penggulingan rezim Bashar al-Assad.
“Bahagia sekali rasanya baru pertama kalinya dalam hidup saya bisa sesenang ini,” ujar Asif, laki-laki berumur sekitar 20 tahun yang berasal dari kota Hama, Suriah.
Asif mengibarkan bendera Turki dan bendera oposisi Suriah dengan kedua tangannya.
BBC
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
BBC
“Sejak tadi malam, kami belum tidur. Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” ujarnya.
“Tidak ada lagi yang akan tinggal di sini. Semuanya ingin pulang karena perang di negara kami sudah berakhir. Kami sungguh-sungguh berterima kasih kepada Turki.”
Ayham, teman Asif yang berasal dari Aleppo, mengungkapkan perasaan yang sama.
“Kami tidak bisa pulang akibat kekejaman Assad. Semuanya kabur dari tangan tirani Assad. Orang-orang mesti hengkang karena kami tidak mau dipaksa menghabisi warga kami sendiri. Sekarang, kami bisa kembali karena semua ini sudah berakhir,” tuturnya.
Para pejuang pemberontak Suriah merayakan kemenangan di Homs pada 8 Desember 2024 (Getty Images)
Seorang pria muda lainnya yang sudah tinggal di Turki selama 14 tahun bertekad untuk segera kembali ke Suriah.
“Tidak ada lagi yang tersisa bagi kami [di Turki]. Saatnya kembali ke Suriah. Jika perlu, kami akan kembali membangun bahkan dari nol sekalipun. Pada hari saya berencana untuk menikah, Suriah merdeka. Saya tidak akan pernah melupakan tanggal ini.”
Selebrasi dan keriaan serupa terlihat di kota-kota Turki lainnya yang memiliki populasi orang Suriah dalam jumlah besar, termasuk Istanbul.
Di Sisli, orang-orang berkerumun di depan gedung konsulat Suriah. Mereka menurunkan bendera rezim Assad.
Turki sudah menjadi rumah bagi sedikitnya tiga juta pengungsi Suriah sejak perang sipil di negara itu pecah pada tahun 2011.
Rasa bingung dan kekhawatiran
Di tengah semua keriaan dan perasaan penuh harap, ada juga orang Suriah yang tidak terlalu ingin cepat-cepat kembali ke negaranya.
Di sebuah kereta Berlin yang hening, Rasha dengan suara pelan merekam suaranya di telepon genggam. Dia berhati-hati agar tidak mengganggu penumpang lain.
Sampai baru-baru ini, Rasha sudah pasrah bahwa dirinya tidak akan lagi bisa melihat rumah keluarganya di Damaskus.
Selama lebih dari satu dekade terakhir, konflik Suriah yang berkelanjutan memaksa jutaan orang Suriah termasuk Rasha untuk menerima kenyataan bahwa sebagian dari masa lalu mereka akan musnah. Namun, kabar penggulingan Assad mengubah segalanya.
Bagi banyak pengungsi Suriah, berita itu memicu berbagai emosi yang saling kontradiksi: tidak percaya, bahagia, penuh harapan, bingung, dan takut.
Warga Suriah yang tinggal di Essen, Jerman, merayakan runtuhnya rezim Assad pada Minggu, 8 Desember 2024 (Getty Images)
Kebahagiaan yang dirasakan Rasha berbenturan dengan realita. Dia mengaku awalnya ingin segera “mengepak koper dan pulang”.
Akan tetapi, Rasha kemudian memikirkan apakah keputusan itu benar-benar dapat dilakukan secara tergesa-gesa.
“Saya tahu bahwa tidak ada lagi perasaan waswas tatkala melewati perbatasan dan ketakutan akan ditangkap atau bahkan hilang,” jelas Rasha.
“Tapi sekarang ada rasa takut yang baru: kemungkinan serangan balasan, ketegangan di antara sekte, dan balas dendam.”
Rasha merupakan penganut agama minoritas di Suriah. Dia benar-benar memikirkan potensi risiko dengan waspada sekalipun belum ada laporan kekerasan yang menargetkan kelompok tertentu.
Baca juga:
“Saat ini kita masih merasakan momen-momen bahagia yang dini,” ujar Rasha perlahan.
“Kita harus berpikir rasional.”
Situasi Rasha semakin rumit karena statusnya sebagai pengungsi di Jerman. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengintegrasikan diri ke komunitas barunya, Rasha berada di jalur yang tepat untuk menerima kewarganegaraan Jerman dalam satu tahun ke depan.
Jika Rasha mendapatkan ini, dia akan bisa lebih bebas untuk pindah ke mana pun dia mau.
“Kami ingin kembali ke Suriah tanpa kehilangan semua pencapaian di sini,” terangnya.
Warga Suriah merayakan jatuhnya rezim Assad di Istanbul (Azra Tosuner/BBC)
Rasha merujuk ke keterampilan bahasa, pendidikan, dan stabilitas yang telah dibangunnya.
“Jika kembali sekarang dan kehilangan status legal, saya barangkali akan kehilangan segalanya.”
Rasha juga mengkhawatirkan nasib rumah keluarganya di Damaskus.
“Sebelum kemarin, saya tidak menyangka bisa melihat rumah kami lagi,” akunya. “Harapan itu kini ada. Tapi bagaimana kalau sudah ada yang merebut rumah kami?”
Sama seperti Youssef di Indonesia, Rasha juga mengkhawatirkan kelompok radikal di negaranya.
“Saya senang rezim itu sudah runtuh,” ujarnya, “tetapi saya kini mengkhawatirkan adanya bentrokan serta kemunculan ekstremisme dan fanatisme.”
Rasha hanyalah satu dari setidaknya 14 juta orang Suriah yang harus meninggalkan negara mereka sejak konflik pecah pada tahun 2011.
Menurut UNHCR, krisis pengungsi di Suriah adalah pemindahan paksa terbesar pada masa kini.
Lebih dari 5,5 juta pengungsi Suriah menetap di negara-negara tetangga termasuk Turki, Lebanon, Yordania, Irak, dan Mesir.
Jerman merupakan negara non-tetangga Suriah dengan populasi pengungsi Suriah terbesar, sekitar 850.000 orang.
Bagi banyak pengungsi, tinggal di luar negeri merupakan suatu tantangan tersendiri.
Selama bertahun-tahun, mereka mesti menghadapi rintangan hukum, menanggung kesulitan ekonomi, dan menghadapi serangan xenofobia.
Pulang ke Suriah ‘bukan perkara sepele’
Ayah Majzoub, Wakil Direktur Regional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara di Amnesty International, menekankan bahwa tidak akan mudah bagi orang-orang Suriah untuk kembali ke negaranya.
“Banyak orang Suriah yang menimbang-nimbang untuk pulang telah kehilangan rumah, pekerjaan, dan orang-orang tercinta,” kata perempuan itu.
“Perekonomian di Suriah sudah hancur akibat konflik dan sanksi asing selama bertahun-tahun.”
“Organisasi-organisasi kemanusiaan harus segera memastikan bahwa pemulangan dilakukan secara sukarela, aman, dan bermartabat.”
“Para pengungsi yang kembali membutuhkan akses ke tempat penampungan, makanan, air, sanitasi, dan perawatan kesehatan,” ujarnya.
Seorang pengungsi Suriah di Ankara, Turki (Getty Images)
Majzoub juga menekankan pentingnya untuk menghindari repatriasi secara paksa.
“Pemerintah-pemerintah tuan rumah tidak boleh memaksa siapa pun untuk pulang,” ujarnya.
“Kepulangan orang Suriah harus dilakukan sepenuhnya sukarela. Kami akan terus mengawasi risiko-risiko yang dihadapi para pengungsi yang kembali tanpa memandang agama, etnis, atau sikap politik mereka.”
Mahmoud Bouaydani, pengungsi Suriah di Turki, mengaku berita dari Damaskus membawa kembali banyak memori.
“Rasanya seperti menonton rekaman sepuluh tahun terakhir setiap peluru mortir, setiap serangan kimia, setiap serangan udara,” kenangnya.
Baca juga:
Pada tahun 2018, Mahmoud melarikan diri dari Douma setelah bertahun-tahun merasa terkepung. Dia sekarang menjadi mahasiswa teknik komputer di Universitas Kocaeli dekat Istanbul.
Meski optimis, Mahmoud menyadari betapa besarnya tantangan menanti jika dirinya kembali.
“Hal pertama yang ada di benak saya adalah harta benda keluarga. Kami tidak tahu bagaimana nasibnya. Barangkali sudah dijual tanpa sepengetahuan kami.”
Mahmoud juga ingin tetap fokus untuk menyelesaikan pendidikannya.
“Saya ingin mengunjungi Suriah terlebih dahulu,” katanya.
“Saya butuh kejelasan tentang keamanan, pemerintahan, dan aturan hukum. Saya tidak bisa melepaskan status perlindungan sementara saya. Saya juga tidak bisa mengambil risiko kehilangan pendidikan atau stabilitas di sini.”
Warga Suriah di Turki merayakan berakhirnya kekuasaan Assad di Suriah setelah pemberontak menguasai Damaskus pada malam hari, di Masjid Fatih, di Istanbul, pada 8 Desember 2024 (Getty Images)
Di Zarqa, Yordania, perempuan Suriah bernama Um Qasim mengenang tahun-tahunnya sebagai pengungsi.
“Kami sudah menghabiskan 12 tahun di Yordania,” katanya.
“Walau kami disambut bak keluarga, pengasingan tetaplah pengasingan.”
Dia menggambarkan momen-momen kegembiraan yang diwarnai dengan kepedihan. Baik ketika merayakan sesuatu seperti ulang tahun, maupun ketika ada yang meninggal.
Ketiadaan sanak saudara untuk berbagi sangat terasa baginya.
Um Qasim bermimpi untuk kembali ke Suriah yang damai. Akan tetapi, dia mengaku realistis dengan kondisi ekonomi yang mengerikan di negara tersebut.
“Keluarga saya di sana masih menderita. Tidak ada listrik yang konsisten, tidak ada air, dan harga-harga yang tidak terjangkau. Bagaimana orang bisa hidup?”
Perasaannya yang campur aduk mencerminkan perasaan banyak orang di diaspora.
“Kami senang rezim telah jatuh, tetapi akan pilu rasanya meninggalkan Yordania apalagi setelah membangun keluarga kedua di sini.”
Warga Suriah di Lebanon berbondong-bondong ke Perbatasan Masnaa yang terletak di antara Lebanon dan Suriah untuk pulang ke rumah setelah runtuhnya rezim Assad, pada 8 Desember 2024 (Getty Images)
Di perbatasan Masnaa, Lebanon, ratusan warga Suriah telah berkumpul dalam beberapa hari terakhir. Mereka menunggu untuk bisa menyeberang pulang ke Suriah.
Lebanon adalah negara dengan jumlah pengungsi per kapita tertinggi di dunia dan saat ini memiliki 768.353 pengungsi Suriah yang terdaftar di UNHCR meskipun diyakini masih banyak yang belum terdaftar.
Juru bicara UNHCR di Lebanon, Dalal Harb, mengatakan bahwa lembaga itu mengamati beberapa pemulangan, termasuk melalui penyeberangan tidak resmi di daerah-daerah seperti Wadi Khaled, sebuah wilayah di perbatasan timur laut Lebanon.
“UNHCR menegaskan kembali bahwa semua pengungsi memiliki hak fundamental untuk kembali ke negara asal mereka pada waktu yang mereka pilih, dan semua pemulangan harus dilakukan secara sukarela, bermartabat, dan aman.”
Harb menambahkan bahwa UNHCR siap untuk mendukung para pengungsi yang kembali jika kondisinya memungkinkan.
Kerumunan orang Suriah di Tripoli, Lebanon (EPA-EFE/REX/Shutterstock)
Di sisi lain, dia menggarisbawahi bahwa selama masa-masa yang tidak menentu sekarang ini, para pengungsi Suriah harus diberi keleluasaan untuk menilai kondisi Suriah dengan mata kepala mereka sendiri.
“Situasi di internal Suriah masih terus berkembang. Banyak warga Suriah yang mencoba menilai dalam beberapa minggu terakhir, seberapa amankah situasi di sana dan apakah ini waktu yang tepat bagi mereka untuk kembali atau tidak,” imbuhnya.
Bagi banyak warga Suriah, ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya sangat membebani pikiran mereka.
Kenangan akan perang, kehilangan, dan pengungsian tetap membayangi mereka. Sekarang pun mereka masih berusaha membayangkan bagaimana rasanya pulang ke negaranya.
Untuk saat ini, mereka hanya bisa melihat dan menunggu.
Bagi Youssef di Malang, Jawa Timur, yang memperoleh beasiswa pendidikan di sini, yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan keluarganya.
“Saya ingin bisa menghasilkan banyak uang supaya keluarga saya tidak menderita. Setidaknya mereka bisa kembali dapat akses air bersih.”
Laporan tambahan oleh Sanaa Alkhoury dan Fundanur ztrk.
Baca juga:
Tonton juga video: Dampak Jatuhnya Rezim Assad ke Ekonomi, Pasar di Suriah Hidup Lagi
(nvc/nvc)