Penonaktifan Sahroni dkk: Parpol Serius atau Setengah Hati?
Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
DI PENGUJUNG
Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto mengundang ketua umum dari delapan partai politik yang mendukung pemerintahannya ke Istana Merdeka, Jakarta.
Bersama mereka hadir pula tiga pemimpin lembaga negara, yakni ketua DPR, DPD dan MPR. Di antara delapan ketua umum partai, cuma ketum Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang tidak bisa hadir karena sedang berada di luar negeri dan luar kota. Keduanya diwakili pentolan dari kedua partai tersebut.
Saya mencatat, ini adalah pertemuan terlengkap di mana pemimpin eksekutif duduk bareng dengan legislatif di Istana.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berasal dari delapan partai politik sehingga seluruh ketua umumnya diundang, tidak terkecuali Megawati Soekarnoputri yang belum lama ini didapuk kembali menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan.
Kehadiran Mega di Istana bersama ketua umum dari parpol yang menyokong Prabowo adalah yang pertama, tak ayal menerbitkan analisis dan spekulasi.
Mereka berkumpul tatkala negeri kita sedang berduka akibat demonstrasi luas di sejumlah kota yang dipicu kematian pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.
Pemuda ini ditabrak dan dilindas kendaraan taktis Brigade Mobil Polri di Pejompongan, Jakarta. Skala kemarahan rakyat mengingatkan peristiwa Mei 1998.
Kini amuk massa dan penjarahan menjangkau rumah anggota DPR serta menteri keuangan yang dianggap tidak peduli dengan nasib rakyat serta menyulut kemarahan publik–terutama di media sosial.
Dalam beberapa saat, kita pun bertanya menyangkut kesanggupan negara dalam menjamin rasa aman dan ketertiban umum.
Dengan latar belakang Indonesia yang sedang menangis itulah para pemimpin berkumpul. Presiden Prabowo tampak benar ingin selalu menjaga persatuan dengan elite partai politik serta lembaga negara.
Prabowo ingin langkah-langkahnya memulihkan keadaan disokong penuh oleh tetamunya yang hadir–entitas yang menentukan politik nasional.
Pesannya elite nasional bersatu, sudah seharusnya rakyat juga bersatu–meredakan amarah dan melanjutkan kegiatan seperti sediakala atau normal. Pendek kata “Indonesia harus reset” untuk menapaki sejarah panjang menuju adil dan makmur.
Dari sekian banyak yang dipaparkan oleh presiden, apakah hal itu dapat “menyembuhkan luka” rakyat? Ini yang kita ingin dengar dari presiden dan karena itu membetot perhatian khalayak luas.
Sekurang-kurangnya dua hal yang berkaitan dengan DPR. Pertama, ketua umum partai politik telah memberi sanksi kepada anggota DPR dari partainya yang dianggap menciderai perasaan rakyat.
Partai Nasdem menon-aktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Begitu juga PAN melakukan hal yang sama kepada Eko Patrio dan Uya Kuya. Partai Golkar pun menon-aktif Adies Kadir sebagai anggota DPR per 1 September 2025.
Kedua, mencabut tunjangan rumah untuk anggota DPR serta moratorium kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri.
Dua hal ini memiliki tali-temali atau setidaknya berkontribusi atas mencuatnya demonstrasi 25 Agustus 2025 dan diikuti demo lanjutan hingga berkulminasi pada tragedi Pejompongan.
Kedua hal ini perlu diperjelas agar tidak multitafsir. Istilah non-aktif yang diberlakukan oleh Nasdem, PAN dan Golkar untuk menindak wakil mereka di DPR agak problematis.
Apakah itu berarti Sahroni, Nafa, Eko, Uya dan Adies dicopot dari keanggotaannya di DPR? Atau ini sekadar “dinon-aktifkan”, lalu ketika situasinya berlangsung normal mereka akan diaktifkan lagi?
Keputusan “non-aktif” itu berlaku di intern partai politik atau menyangkut lembaga DPR? Non-aktif bisa saja diterjemahkan posisi Sahroni dan lain-lain itu dikosongkan oleh partainya: Nasdem, PAN dan Golkar.
Bila sanksi kepada lima anggota DPR itu cuma sanksi internal partai, kita ragu dan khawatir kejadian di akhir Agustus 2025, bakal memberi pelajaran kepada anggota DPR dan partai politik.
Pakar pemilu Titi Anggraini menyatakan istilah non-aktif diatur dalam UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Namun, istilah itu spesifik untuk pemimpin atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang sedang diadukan. Mekanisme non-aktif bukan untuk anggota DPR secara umum, tegas pengajar di Fakultas Hukim UI ini (
Hukumonline.com
, 1/9/2024).
Lumayan tidak lumrah jika partai politik menggunakan istilah non-aktif untuk memberi sanksi anggotanya itu. Padahal keadaan negeri sedang “gelap” dan sensitif.
Jika partai politik mendengar dan terkoneksi dengan aspirasi rakyat–terutama mereka yang mau melawan terik matahari saat demonstrasi–seharusnya tiga partai politik itu melakukan Penggantian Antarwaktu (PAW).
Ini lebih jelas, tegas dan tidak setengah-setengah. Toh, intensi dan tujuan dari tiga partai politik itu adalah memberi sanksi.
Jika kita cermat, partai politik memberi “sanksi” kepada anggotanya dengan “wait and see”.
Tengok saja Ahmad Sahroni. Pada 29 Agustus 2025, ia dicopot dari posisinya sebagai wakil ketua Komisi III DPR. Ia lalu dipindah menjadi anggota Komisi I DPR. Dua hari kemudian, Nasdem menon-aktifkan Sahroni bersama Nafa Urbach.
“Dengan ini DPP Partai NasDem menyatakan terhitung sejak hari Senin, 1 September 2025, DPP Partai NasDem menonaktifkan saudara Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem,” kata Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim, dalam keterangan resminya, Minggu (
Kompas.com
, 31/8/2025).
Lebih afdol ditempuh PAW. Ini adalah proses pergantian antarwaktu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang berhenti antarwaktu untuk digantikan oleh pengganti antarwaktu yang diambil dari daftar calon pengganti.
Yang bisa menggantikan pun tidak sembarangan, tidak bisa suka-suka partai politik. PAW diatur mengikuti prinsip adil dan berbasis daerah pemilihan (distrik).
Kita masih ingat PAW anggota DPR dari PDI Perjuangan pernah menerbitkan skandal ketika ada uang suap ke anggota KPU tahun 2020.
Hingga kini, Harun Masiku yang diplot menggantikan anggota DPR terpilih dari dapil 1 Sumatera Selatan masih buron dan tidak sanggup ditangkap oleh KPK.
Adapun Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang terbukti terlibat dalam praktik suap ini di pengadilan Tipikor akhirnya bebas karena diberi amnesti oleh presiden.
Jika tiga partai politik tadi serius, sebaiknya mekanisme PAW diberlakukan. Ganti lima anggota DPR tadi dengan pengganti dari daerah pemilihan mereka berasal. Ini lebih representatif, lebih mewakili rakyat di dapil tersebut.
Beda halnya jika sanksi untuk lima anggota DPR sekadar “membaca arah angin”. Lebih sensitif lagi jika sanksi lewat penonaktifan itu tidak menghentikan gaji serta fasilitas yang melekat pada anggota DPR.
Alih-alih menyembuhkan “luka” rakyat, mekanisme non-aktif justru dapat memperkeruh suasana.
Pokok soal lainnya, yakni pencabutan tunjangan rumah buat anggota DPR. Dalam catatan saya, ini juga tidak terlalu maju. Ini sekadar perulangan dari pernyataan wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan fraksi PDI Perjuangan di DPR.
Awalnya cuma berlaku sampai Oktober 2025. Lalu PDI-P menyatakan setuju untuk menghentikan, kemudian Presiden Prabowo menyatakan tunjangan itu akan dicabut oleh DPR.
Pertanyaannya dicabut mulai kapan? Lalu, apa pengganti fasilitas rumah di DPR? Apakah kembali ke rumah jabatan anggota (RJA) di Kalibata dan Ulujami, Jakarta?
Padahal RJA ini disebut telah rusak dan tidak layak huni. Publik bertanya-tanya, apakah pencabutan tunjangan rumah senilai Rp 50 juta itu tidak dikompensasi?
Jika iya, tidak dikompensasi apapun, berarti anggota DPR terutama yang berasal dari luar Jakarta harus menggunakan sebagian dari penghasilannya untuk mengontrak rumah.
Ini pesan yang baik, meskipun publik terus meraba-raba karena ketua DPR Puan Maharani tidak menjelaskan poin-poin detail atas keputusan “mencabut” tunjangan rumah untuk anggota DPR ini.
Dan inilah keunikan DPR periode ini. Komunikasi yang super penting untuk meredam spekulasi di luar, tidak dilakukan dengan baik.
Seusai demo 25 Agustus 2025, yang bicara ke publik justru Sufmi Dasco Ahmad, bukan Puan Maharani sebagai nakhoda DPR.
Saat ini adalah momentum yang baik untuk menunjukkan kepemimpinan di masa krisis. Toh Puan sebagai ketua DPR yang hadir di Istana Merdeka bersama ketua MPR, DPD dan ketua umum parpol pemilik kursi di DPR.
Di masa krisis, seorang pemimpin tidak bisa bertindak biasa-biasa saja. Pemimpin dituntut proaktif.
Kepemimpinan krisis mencakup eksplorasi skenario potensial dan pengembangan rencana komunikasi serta respons.
Namun, lebih dari itu pemimpin di masa krisis juga perlu berpikir strategis dan mengambil keputusan cepat untuk meminimalkan dampak. Hari-hari ini kita butuh pemimpin yang seperti itu.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Penonaktifan Sahroni dkk: Parpol Serius atau Setengah Hati? Nasional 2 September 2025
/data/photo/2025/09/01/68b519ea25167.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)