Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Tol Indonesia (ATI) memberikan tanggapan mengenai rencana pemerintah yang hendak menerapkan sanksi administratif bagi Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) yang tidak memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Adapun, pengenaan sanksi administratif tersebut akan diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) yang dibidik mulai diundangkan pada Desember 2025.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) ATI, Kris Ade Sudiyono menjelaskan bahwa pada dasarnya seluruh Badan Usaha Jalan Tol yang tergabung dalam ATI menghormati putusan pemerintah. Khususnya, untuk meningkatkan pelayanan fasilitas tol bagi masyarakat.
“Seluruh BUJT anggota ATI sangat mendukung upaya peningkatan layanan jalan tol termasuk pembaruan SPM jalan tol yang akan mengatur secara komprehensif performansi kondisi jalan, prasarana keselamatan dan keamanan jalan tol, serta kesiapan prasarana pendukung layanan pengguna jalan tol,” jelasnya kepada Bisnis, Rabu (24/9/2025).
Kris juga menyebut, pemerintah telah melakukan koordinasi lanjutan mengenai pembentukan Permen PU tersebut dengan BUJT.
Dia juga memastikan pihaknya telah terlibat secara aktif memberikan pandangan, kajian, dan usulan terhadap draf Rancangan Peraturan Menteri (Rapermen).
Meski demikian, ATI menekankan performa kelayakan jalan tol sangat dipengaruhi oleh fenomena kendaraan berdimensi dan bermuatan lebih atau Overload-over dimension (ODOL).
Untuk itu, Kris menjelaskan bahwa peningkatan layanan jalan tol yang termuat dalam SPM harus diletakkan dalam perspektif upaya integral mengatasi fenomena kendaraan ODOL di sistem penataan lalu lintas dan logistik nasional.
“ATI tidak sependapat dengan berbagai narasi yang mengusulkan pembatasan secara parsial dan protektif kendaraan ODOL dengan pemasangan weight in motion (WIM) di jalan tol. Kebijakan ini selain tidak efektif, juga hanya mengalihkan permasalahan keselamatan dan kerusakan jalan akibat ODOL ke jaringan jalan di luar jalan tol,” tambahnya.
ATI menyebut, peningkatan kualitas dan kondisi jalan tol baik melalui proses rekonstruksi, preservasi dan pemeliharaan jalan akibat fenomena kendaraan ODOL semestinya berada di luar kontrol Badan Usaha Jalan Tol.
Ilustrasi jalan tol
“ATI mengusulkan berbagai deregulasi terkait industri infrastruktur jalan tol, termasuk pengaturan SPM jalan tol, senantiasa diletakkan dalam prespektif upaya bersama untuk menjaga iklim dan kepastian usaha, serta keberlanjutan model pengusahaan jalan tol di Indonesia,” imbuhnya.
ODOL Bikin Umur Pakai Jalan Menyusut 30%
Berdasarkan catatan Bisnis, Menteri Koordinator (Menko) Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK), Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menegaskan truk dengan muatan berlebih atau ODOL menjadi biang kerok bengkaknya anggaran preservasi jalan.
Dalam laporan AHY, truk ODOL menimbulkan inefisiensi anggaran pemerintah hingga Rp41 triliun per tahun yang digelontorkan untuk biaya perbaikan perkerasan baik untuk jalan nasional maupun jalan tol.
“Dihitung oleh Kementerian PU ketika itu, kerusakan jalan akibat itu semua [truk ODOL], kurang lebih negara atau pemerintah harus menggelontorkan Rp41 triliun setiap tahunnya untuk perbaikan,” kata AHY di Kantor Kemenko IPK, Jakarta, Kamis (17/7/2025).
Di samping itu, AHY juga menegaskan bahwa truk Odol membuat kelayakan usia jalan berkurang. Di mana, apabila umumnya usia jalan dapat digunakan untuk 10 tahun, maka saat ini kelayakan usia jalan berkurang menjadi 30%.
Tidak hanya itu, AHY juga menyebut Odol menjadi salah satu faktor penyebab kecelakaan dengan tingkatkan keparahan atau fatality rate yang tinggi.
“Odol, kendaraan besar ini berkontribusi 10,5% terhadap jumlah kecelakaan. Nomor dua, setelah motor. Korban jiwa juga berjatuhan, bukan hanya pengemudi, tetapi juga masyarakat pengguna jalan lainnya yang tidak tahu-menahu menjadi korban terdampak langsung dan fatal,” ujarnya.
Sementara sebelumnya, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menegaskan implementasi aturan zero overdimension and overloading (zero odol) perlu untuk segera dijalankan.
Jafung PKJJ Ahli Utama Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian PU Herry Trisaputra Zuna menjelaskan bahwa porsi angkutan odol di lapangan saat ini mencapai 63%.
Mayoritas kendaraan odol itu terkonsentrasi di Jaringan Jalan Tol Trans Sumatra mencapai 50%, sedangkan sisanya tersebar di wilayah Trans Jawa.
Dia juga menjelaskan, kendaraan odol tersebut dilaporkan berkontribusi 17% terhadap kecelakaan. Tak hanya itu, truk muatan berlebih juga meningkatkan waktu tempuh hingga meningkatkan potensi fatality rate pada kecelakaan.
“Dampaknya sendiri ke waktu tempuh kemacetan, kemudian biaya logistik, dan yang paling mahal tentunya adalah pengaruhnya ke fatality rate karena nyawa itu priceless seharusnya. Apapun dan berapapun harganya ini harus kita perjuangkan,” pungkasnya.
