Bisnis.com, JAKARTA – Indonesian Mining Association (IMA) menilai hilirisasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) masih sulit dilakukan.
Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia menilai para pengusaha masih maju mundur melaksanakan hilirisasi batu bara menjadi DME lantaran belum ekonomis. Dengan kata lain, untuk melakukan hilirisasi tersebut memerlukan biaya yang mahal.
“Kenapa [hilirisasi batu bara] nggak jalan-jalan ya ini kan ya? Pertama, tentu karena semuanya nggak ekonomis, teknologinya mahal,” ucap Hendra kepada Bisnis, Kamis (5/12/2024).
Hendra mengatakan, saat ini negara yang melakukan gasifikasi batu bara baru China. Sementara itu, negara produsen batu bara lain seperti Australia, Rusia, dan India belum melakoni hal serupa.
Menurutnya, Australia, Rusia, dan India belum melakukan hilirisasi batu bara karena alasan yang sama, yakni tidak ekonomis. Hendra menyebut, biaya teknologi untuk gasifikasi batu bara memerlukan biaya miliaran dolar AS.
Di sisi lain, dia mengungkapkan penggunaan DME sebagai substitusi LPG pun masih belum pasti. Hendra menjelaskan pengusaha belum mendapat jaminan kelak DME bakal diserap pasar.
“Nah, itu harga jualnya [DME] itu bagaimana ngaturnya, dan ini kan bisnis yang [berjalan] 25 tahun, 30 tahun kan itu harus jangka panjang ya karena kan kita juga nggak jelas kan harga kita kan di sini kadang bisa berubah-ubah,” jelas Hendra.
Selain itu, Hendra mengaku mencari pendanaan untuk menggarap hilirisasi batu bara menjadi DME bukan hal gampang. Dia menyebut perbankan pun susah untuk memberikan pinjaman.
“Kalaupun ada, nah misalnya bank yang mau danain, karena dia [hilirisasi batu bara] belum ekonomis ya pasti dia [bank] pasang bunga tinggi,” imbuh Hendra.
Lebih lanjut, Hendra mengatakan, insentif yang diberikan pemerintah untuk pengusaha yang melakukan hilirisasi, belum mampu menutupi biaya yang mahal.
Adapun, insentif yang diberikan pemerintah itu ada tiga. Pertama, pengurangan tarif royalti batu bara khusus untuk gasifikasi batu bara hingga 0%.
Kedua, pengaturan harga batu bara khusus untuk meningkatkan nilai tambah (gasifikasi) yang dilaksanakan di mulut tambang. Ketiga, masa berlaku izin usaha pertambangan (IUP) batu bara yang dikhususkan pada batu bara untuk gasifikasi diberikan sesuai dengan umur ekonomis industri gasifikasi batu bara.
“Tapi itu saja mungkin belum cukup untuk membuat orang menarik investor gitu ya, buktinya investor [ada] juga yang mundur gitu kan,” kata Hendra.
Proyek DME menjadi salah satu bentuk hilirisasi batu bara yang didorong oleh pemerintah guna menyubtitusi liquefied petroleum gas (LPG). Apalagi, Indonesia masih ketergantungan impor LPG.
Berdasarkan keterangan Kementerian ESDM, industri dalam negeri hanya mampu memproduksi LPG sekitar 2 juta ton per tahun. Sementara itu, konsumsi LPG dalam negeri mencapai 8 juta ton sehingga RI masih mengimpor sekitar 6 juta ton LPG senilai US$3,45 miliar per tahun. Bahkan, Indonesia harus mengeluarkan devisa yang signifikan untuk impor LPG, sekitar Rp450 triliun keluar setiap tahun untuk membeli minyak dan gas, termasuk LPG.
Di sisi lain, Indonesia belum mampu menggenjot produksi LPG lantaran kekurangan gas propana (C3) dan butana (C4). Oleh karena itu, DME untuk pengganti LPG menjadi penting.