Pengusaha Semen Lebih Khawatir Aturan Tarif Karbon Australia Ketimbang CBAM Eropa

Pengusaha Semen Lebih Khawatir Aturan Tarif Karbon Australia Ketimbang CBAM Eropa

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Semen Indonesia (ASI) tidak mengkhawatirkan penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang diterapkan Uni Eropa tahun depan. Alih-alih Eropa, industri lokal kini cemas dengan kebijakan serupa yang akan diterapkan Australia.  

Ketua ASI Lilik Unggul Raharjo mengatakan Eropa bukan menjadi pasar utama ekspor semen nasional. Namun, Australia masuk dalam 3 besar tujuan ekspor produk semen Indonesia. 

“Kita ekspor dua jenis produk, clinker [setengah jadi] dan semen. Ekspor terbesar untuk clinker ke Bangladesh, lalu Taiwan dan Australia,” kata Lilik saat ditemui Bisnis di Kantor ASI, dikutip pada Minggu (2/11/2025). 

Lilik menerangkan bahwa ekspor ke Eropa tidak menjadi pilihan lantaran biaya transportasi yang mahal. Alhasil, produk semen RI kalah bersaing dengan negara-negara lain seperti Turki maupun Timur Tengah. 

Dalam catatan ASI, volume ekspor clinker sekitar 10,9 juta ton, sementara semen jadi hanya sekitar 1 juta ton. Adapun, ekspor clinker ke Australia mencapai 1,1 juta ton atau 10% dari total ekspor per tahun. 

“Nah, Australia ini, mereka akan menerapkan kebijakan serupa [CBAM] tahun 2027, disebut carbon leakage tariff,” tuturnya. 

Kedutaan Besar Australia disebut telah memberikan pengumuman terkait kebijakan tersebut dan memperkenalkan skema perhitungannya. Kendati demikian, kebijakan tarif tambahan berbasis karbon itu juga belum final. 

Lilik menuturkan bahwa pemerintah Australia tengah mempersiapkan pengumuman launching kebijakan tersebut. Namun masih menunggu pemilihan umum dan peresmian pemerintahan baru. 

“Tapi tarifnya diperkirakan sekitar AU$30 per ton CO₂. Kami sudah mengimbau anggota untuk bersiap,” imbuhnya. 

Dalam hal ini, pihaknya telah menyelesaikan penyusunan roadmap dekarbonisasi bersama Kementerian Perindustrian dan ITB. Bahkan sebelum itu, beberapa perusahaan besar sudah melakukan inisiatif pengurangan emisi. 

Dia menyebutkan bahwa saat ini rasio clinker factor dari produksi industri sudah turun ke 68% dari level awal 90%–95%. Artinya, terdapat penurunan emisi cukup signifikan.

“Selain itu, kami melakukan fuel switching dari batubara ke bahan bakar alternatif seperti biomassa, RDF, dan limbah industri,” jelasnya. 

Efisiensi energi juga terus ditingkatkan. Secara total, emisi per ton semen sudah turun sekitar 21% dibandingkan tahun 2010. Penggunaan bahan bakar alternatif kini mencapai 11% dari total nilai kalor, naik dari 3% pada 2010.

Di sisi lain, pihaknya juga telah memproduksi blended cement atau semen hijau, yaitu dengan menurunkan porsi clinker. Pembuatan clinker disebut menghasilkan CO₂ tinggi, sehingga pengurangannya membuat proses lebih ramah lingkungan. 

“Saat ini sekitar 71% produk kita sudah berupa semen hijau, sisanya 29% masih OPC [ordinary portland cement]. Targetnya, seluruh produksi menjadi semen hijau pada 2050,” terangnya. 

Lebih lanjut, Lilik menyoroti sejumlah tantangan dalam upaya dekarbonisasi industri semen. Dari sisi regulasi, misalnya aturan spesifikasi proyek infrastruktur yang masih mengacu pada OPC. 

Padahal, pasar umum sudah sangat menerima, sekitar 70% semen kantongan yang beredar di pasaran meripakan semen hijau. Dari sisi harga dan kualitas, tidak ada perbedaan signifikan.

“Kami sedang ajukan terkait regulasi agar proyek-proyek pemerintah juga menggunakan semen ramah lingkungan,” tuturnya. 

Pihaknya juga mendorong kemudahan izin untuk penggunaan bahan bakar alternatif dan kebijakan nilai ekonomi karbon yang sedang disiapkan untuk diberikan insentif seperti carbon credit. 

“Kami juga berharap ada insentif investasi karena untuk menurunkan emisi butuh biaya besar. Total kebutuhan investasi nasional untuk mencapai target penurunan emisi 2030 diperkirakan sekitar Rp3 triliun,” pungkasnya.