Jakarta –
Pemerintah memberlakukan bauran biodiesel 40% (B40) pada bahan bakar minyak (BBM) di awal tahun 2025. Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut kebutuhan biodiesel untuk mendukung mandatori B40 diperkirakan mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun.
Akan tetapi, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut akan ada kebutuhan yang dipangkas akibat penerapan B40, yakni ekspor minyak sawit. Hal itu terjadi lantaran produksi sawit dalam negeri mengalami stagnasi sejak lima tahun terakhir.
Ketua Umum GAPKI, Eddy Martono menuturkan, implementasi kenaikan mandatory perlu dievaluasi secara berkala untuk memastikan kebutuhan B40 tidak mengganggu sektor lain. Dalam hal ini, ia menilai kegiatan ekspor minyak sawit akan terimbas.
“Dengan kondisi produksi yang stagnan 5 tahun ini, maka implementasi kenaikan mandatory perlu selalu di-review agar kebutuhan yang lain tidak terganggu. Apabila produksi seperti saat ini pasti akan ada yang dikurangi yang paling mungkin dikurangi adalah ekspor, sementara insentif untuk biodiesel PSO menggunakan dana pungutan ekspor (PE),” kata Eddy saat dihubungi detikcom, Kamis (2/1/2024).
Ia menuturkan, PE yang berkurang akan berdampak pada program pemerintah di sektor perkebunan kelapa sawit. Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), tutur Eddy, turut terdampak jika dana PE menurun.
“Selain itu dana PE juga digunakan untuk peremajaan sawit rakyat, PSR dengan kondisi produksi seperti ini sangat penting, apalagi dari 2017 sampai dengan sekarang pencapaiannya sangat rendah,” ungkapnya.
Begitu juga dengan usul Presiden Prabowo Subianto beberapa waktu lalu yang hendak memperbanyak penanaman kelapa sawit. Menurutnya, akan lebih baik mengakselerasi program PSR untuk memenuhi kebutuhan B40.
“Kalau mau cepat untuk B40, ya, memang perluasan di areal yang terdegradasi harus dari sekarang. Tetapi tetap diutamakan peningkatan produktivitas sawit rakyat karena juga berdampak sangat positif untuk petani sawit,” jelasnya.
Lebih jauh, Eddy juga menegaskan bahwa GAPKI mengambil peran sebagai partner pemerintah. Ia pun turut mendukung penerapan B40 dengan catatan pemerintah perlu melakukan evaluasi berkala.
“B40 tidak ada masalah tetap berjalan, hanya dalam implementasinya nanti terus di evaluasi dan Gapki akan terus memberikan masukan kepada pemerintah karena Gapki memposisikan diri sebagai partner pemerintah,” tutupnya.
Diketahui sebelumnya, Wakil Menteri ESDM, Yuliot, memastikan kesiapan pelaksanaan program B40 dapat berjalan dengan baik. Yuliot mengatakan kebutuhan biodiesel untuk mendukung mandatori B40 diperkirakan mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun. Angka tersebut mencakup distribusi ke seluruh Indonesia sehingga kesiapan dari sisi bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama.
“Hari ini kami dengan tim turun mengecek kesiapan implementasi B40 yang akan dimulai pada 1 Januari 2025. Menteri ESDM telah menetapkan keputusan terkait implementasi ini, dan kami sudah melihat sendiri kesiapan dari sisi industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan bakar nabati,” ujar Yuliot saat meninjau Kilang Pertamina Refinery Unit II Dumai Riau, dikutip dari laman Kementerian ESDM, Minggu (29/12/2024).
Kementerian ESDM juga terbuka terhadap masukan dari berbagai badan usaha untuk memastikan kelancaran implementasi B40. Menurut Yuliot, tantangan dalam penerapan B40 tidak hanya terkait dengan ketersediaan bahan baku, tetapi juga kondisi geografis yang beragam di Indonesia.
“Kami mengharapkan masukan dari Pertamina Patra Niaga maupun badan usaha lain terkait tantangan implementasi B40. Misalnya, wilayah seperti Dumai yang relatif panas, atau daerah dataran tinggi dengan suhu lebih dingin, apakah ada impact yang perlu disiapkan baik oleh Pertamina maupun badan usaha BBM yang akan melaksanakan mandatori B40,” ujar Yuliot.
(rrd/rrd)