Bisnis.com, Jimbaran — Sejumlah perusahaan batu bara tengah menghadapi tantangan tingginya biaya produksi di tengah pelemahan harga emas hitam.
Peningkatan biaya produksi terjadi lantaran sejumlah alasan, salah satunya penggunaan biodisel 40% atau B40. .
Direktur Komersial di PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Verisca Hutanto menuturkan B40 cukup menjadi beban operasional. Pasalnya, harga B40 lebih mahal dibanding bahan bakar konvensional.
“Karena tidak ada lagi subsidi untuk B40, maka kami juga menghadapi peningkatan biaya yang signifikan untuk lapangan,” ucap Verisca dalam forum CT Asia 2025 di Intercontinental Hotel, Jimbaran, Bali, (Senin (22/9/2025).
Dia juga mengatakan, mahalnya B40 membuat biaya logistik ikut naik. Apalagi, PTBA haru mengangkut batu bara dari tambang ke pelabuhan dengan jarak cukup jauh.
“Peningkatan biaya logistik ini juga akan meningkatkan biaya produksi secara keseluruhan secara signifikan,” imbuh Verisca.
Senada, Presiden Direktur PT Kideco Jaya Agung, Kurnia Ariawan menuturkan biaya B40 yang tinggi membuat perusahaan harus merogoh kocek lebih dalam. Menurutnya, penggunaan B40 membuat biaya bahan bakar naik 20%.
Dia mencontohkan, Kideco memproduksi batu bara sekitar 30 juta ton per tahun. Dengan jumlah tersebut, perusahaan membutuhkan 350 juta liter B40.
Kurnia menyebut disparitas harga antara B40 dengan bahan bakar konvensional bisa mencapai Rp3.000 per liter. Artinya, dengan penggunaan 350 juta liter B40, Kideco harus mengeluarkan dana tambahan sekitar Rp1,05 triliun per tahun.
“Bahan bakarnya sekitar 350 juta liter dikali Rp2.000 atau Rp3.000 [per liter]. Jadi, Anda mendapatkan angkanya, angka yang sangat besar,” tutur Kurnia.
Harga Batu Bara Terkoreksi
Di sisi lain, Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Priyandi mengungkapkan harga batu bara global terus merosot di tengah tekanan konflik geopolitik dan ketidakpastian pasar energi dunia.
Menurutnya, harga komoditas energi primer itu kini bergerak jauh di bawah level 2024. Hal ini memicu penyesuaian strategi produksi dan investasi pelaku usaha.
Dia menuturkan, harga batu bara sempat anjlok di bawah US$100 per ton pada 2025. Angka tersebut jauh di bawah rata-rata harga pada 2024 yang bisa mencapai US$130 per ton.
“Harga yang semula di kisaran US$130 per ton pada 2025 kini anjlok ke US$100 per ton, bahkan sempat menembus level di bawah US$100 per ton pada tahun ini,” ujar Priyandi.
Dia menambahkan, penurunan harga tersebut berdampak langsung terhadap rencana produksi dan investasi pelaku industri.
Priyadi mengatakan, penurunan harga batu bara global saat ini menjadi ujian besar bagi keberlanjutan industri pertambangan Indonesia.
Pelaku usaha pun berharap kolaborasi lintas sektor dan kebijakan pemerintah yang adaptif mampu menstabilkan pasar, menjaga investasi, dan mendorong daya saing di tengah dinamika geopolitik internasional.
