Pengusaha Desak Pemerintah Setop Impor Baja Konstruksi Asal China dan Vietnam

Pengusaha Desak Pemerintah Setop Impor Baja Konstruksi Asal China dan Vietnam

Bisnis.com, JAKARTA — Indonesian Society of Steel Construction (ISSC) mendesak pemerintah untuk menyetop impor baja konstruksi dari China dan Vietnam. Pasalnya, kedua negara tersebut dinilai masif menjual baja murah ke pasar domestik dalam 2 tahun terakhir. 

Ketua Umum ISSC Budi Harta Winata mengatakan, kalangan industri baja konstruksi nasional mulai gerah dengan serbuan baja impor dari kedua negara tersebut terjadi dalam skala besar dan dijual dengan harga yang tidak mencerminkan biaya produksi wajar.

“Praktik ini telah menyebabkan distorsi pasar, menekan utilisasi pabrik domestik, mengganggu rantai nilai industri baja nasional, dan berpotensi menghapus kapasitas produksi strategis dalam negeri,” ujar Budi dalam keterangan resminya, Kamis (23/10/2025).

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), impor secara keseluruhan produk besi dan baja dari China mencapai US$2,39 miliar dengan volume 3,81 juta ton pada Januari-Agustus 2025. 

Angka tersebut naik dibandingkan periode yang sama tahun lalu US$2,16 miliar dengan volume 2,85 juta ton. Pada periode yang sama tahun 2023, impor dari China sekitar US$2 miliar dengan volume 2,31 juta ton. 

Sementara itu, impor besi dan baja dari Vietnam pada Januari-Agustus 2023 sebanyak US$305,82 juta dengan volume 405,43 kg. Pada 2024 di periode yang sama, volume impor dari Vietnam mencapai 406,39 kg dengan nilai US$281,5 juta. Adapun, pada periode yang sama tahun ini, nilai impor Vietnam mencapai US$246,75 juta dengan volume 404,34 kg. 

Dia menyebut, banjir baja impor itu bukan karena kapasitas produksi nasional yang kurang, melainkan akibat praktik predatory pricing, perbedaan regulasi, dan lemahnya pengawasan di jalur impor.

Apabila situasi ini terus dibiarkan, Budi memperkirakan Indonesia berisiko kehilangan fondasi industrinya dan hanya menjadi pasar bagi kelebihan produksi negara lain.

“Industri baja adalah tulang punggung kemandirian konstruksi nasional. Negara yang kehilangan industrinya, kehilangan kendali atas masa depannya,” jelasnya.

Oleh karena itu, ISSC menilai pemerintah perlu segera mengambil langkah korektif untuk mengantisipasi dampak negatif serbuan baja impor terhadap pelaku industri dalam negeri.

Dalam hal ini, pihaknya mengajukan lima tuntutan utama kepada pemerintah. Pertama, moratorium sementara impor baja konstruksi dari Vietnam dan China pada pos tarif tertentu yang terbukti mendistorsi pasar.

Kedua, penerapan kebijakan anti-dumping dan safeguard sesuai PP 34/2011 serta ketentuan World Trade Organization (WTO). Ketiga, pengetatan mekanisme perizinan impor seperti Pertek, PI, SNI, dan LS agar tidak disalahgunakan.

Keempat, prioritaskan produk baja dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan proyek strategis nasional. Kelima, cegah Indonesia menjadi tempat pembuangan (dumping ground) bagi kelebihan pasokan baja asing.

Budi menekankan bahwa usulan tersebut bukan bentuk proteksionisme, melainkan langkah pertahanan industri yang sah dan sejalan dengan konstitusi. Tujuannya untuk menjaga keberlanjutan industri baja nasional dan menjamin keamanan konstruksi jangka panjang.

“Tanpa kebijakan korektif, Indonesia hanya akan memiliki pasar baja, bukan industri baja, dan pasar tidak pernah memiliki kedaulatan,” pungkasnya.