Bisnis.com, JAKARTA — The Indonesian Iron and Steel Association (IISIA) mengusulkan agar pemasangan alat pendeteksi radiasi atau radiation portal monitor (RPM) dilakukan di area perbatasan atau border yang berada di bawah pengawasan Bea Cukai.
Usulan tersebut disampaikan menyusul kebijakan pemerintah yang mewajibkan pelaku industri peleburan logam memasang alat pendeteksi radioaktif di masing-masing fasilitas usaha.
Direktur Eksekutif IISIA Harry Warganegara mengatakan bahwa langkah pemerintah untuk memperketat pengawasan bahan baku logam, terutama scrap impor, sebenarnya dapat dipahami. Namun, pemasangan alat deteksi seharusnya dilakukan di titik masuk barang, bukan di area industri.
“Kami bisa pasang alat pendeteksi itu, tapi seharusnya ini dipasang di border sehingga kalau ada apa-apa, ketahuan ada radioaktif, bisa langsung di re-export,” ujar Harry dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR, Rabu (12/11/2025).
Harry menjelaskan, kebutuhan bahan baku menjadi tantangan utama industri baja nasional untuk menuju produksi baja hijau (green steel).
Indonesia saat ini mengimpor sekitar 1,2 juta ton scrap setiap tahun, sementara pasokan domestik hanya mampu memenuhi 30%—40% kebutuhan.
Namun, pasokan scrap impor sempat terhambat setelah muncul temuan material radioaktif pada salah satu perusahaan peleburan di Cikande, Banten, yakni PT Peter Metal Technology (PMT). Dampaknya, impor scrap langsung dihentikan sementara waktu.
“Kami memahami situasi yang terjadi di Cikande, akibatnya scrap itu disetop. Kami sudah melayangkan surat ke Kemenperin, KLHK, dan Kemendag, dan sudah direspons. Kami diberi waktu 3 bulan untuk memasang alat RPM atau CSSM sebagai detektor radioaktif,” ungkapnya.
Meski demikian, Harry menekankan bahwa proses pengadaan alat tersebut memerlukan waktu. Dia mengungkap pihaknya tidak menolak untuk memasang alat deteksi tersebut.
Namun, secara waktu, pemasangan di kawasan industri dinilai akan terlambat apabila ditemukan unsur radioaktif setelah scrap tiba di area industri. Menurut Harry, kondisi itu membuat perusahaan tidak bisa lagi mengekspor kembali material yang terkontaminasi.
“Kalau radioaktifnya ditemukan di pabrik anggota kami, itu sudah tidak bisa di-re-export. Solusinya adalah dikubur. Kalau dikubur berarti radioaktif itu ditanam di bumi Indonesia, bukan dikembalikan ke negara asal. Ini yang kami khawatirkan,” jelasnya.
Harry menambahkan, sebenarnya Bea Cukai telah memiliki alat pendeteksi radioaktif di Pelabuhan Tanjung Priok. Namun, fasilitas itu dinilai belum mencukupi karena belum tersedia di seluruh pelabuhan tempat scrap impor masuk.
“Bea Cukai memang punya di Priok, tapi apakah alat itu aktif 24 jam dan apakah semua scrap diperiksa? Karena scrap tidak hanya masuk lewat Priok, ada pelabuhan lain yang belum punya alat itu,” imbuhnya.
Sementara itu, berdasarkan edaran dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), perusahaan peleburan diwajibkan memasang alat deteksi radioaktif sebelum dapat kembali mengimpor scrap. IISIA menilai kebijakan ini perlu penyesuaian agar tidak menghambat aktivitas industri.
“Kalau harus pasang dulu baru boleh impor lagi, berarti selama alat dipasang, produksi berhenti. Dampaknya bukan hanya ke perusahaan, tapi juga ke karyawan. Untungnya sekarang sudah diperpanjang waktunya,” pungkasnya.
