Menurut Suharno, masyarakat Pati akan terus memperjuangkan pembebasan Botok dan Teguh. Dia juga menegaskan, mereka tidak gentar meski berisiko mengalami kriminalisasi serupa.
“Kami tidak melibatkan massa, tapi massa yang terlibat. Kami tidak takut. Kebenaran akan terus kami perjuangkan,” katanya.
Suharno juga menyoroti ketimpangan penegakan hukum. Dia menyinggung peristiwa banjir di Jalan Kaligawe, Semarang, yang menutup jalur Pantura selama 11 hari tanpa ada pejabat yang diproses hukum.
“Pantura diblokir banjir 11 hari, tidak ada yang ditangkap. AMPB blokir 15 menit, malah diancam 9 tahun penjara. Di mana keadilannya?” ujarnya.
Dalam aksi itu, dua kakak perempuan Botok, Mulyati (55) dan Mukijah (50) tampak menangis di depan pagar besi Mapolda Jateng. Mereka datang dari Pati sejak pagi bersama rombongan massa.
“Anak dan istrinya baru bisa menjenguk. Saya belum diizinkan masuk,” ujar Mulyati sambil meneteskan air mata.
Menurutnya, masyarakat Pati saat ini bisa merasakan dampak perjuangan Botok yang menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen.
“Soal pajak, turun itu karena Mas Botok. Kenaikan 250 persen itu mencekik wong cilik. Bupati Pati harus tanggung jawab,” ujarnya.
Sebelumnya, polisi telah menetapkan Botok dan Teguh sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana mengganggu ketertiban umum melalui aksi pemblokiran Jalan Pantura Pati-Juwana.
Aksi tersebut dinilai menyebabkan kemacetan total selama sekitar 15 menit dan mengganggu aktivitas masyarakat. (fajar)
