Puasa disepakati memanglah sebuah upaya menahan diri dari makan dan minum, namun apakah sejatinya puasa hanya soal urusan perut untuk menahan lapar dan dahaga saja? Puasa memiliki keutamaan dan tujuan yang lebih besar dari sekedar menahan lapar dan dahaga, yaitu mencapai ketakwaan sebagaimana dalam surah al-Baqarah ayat (183):
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Oleh karena itu, menjalankan puasa di bulan Ramadan tidak sebatas menunaikan kewajiban, melainkan juga momentum perubahan perilaku sosial agar terbiasa produktif melalui peningkatan spiritualitas, pengendalian diri dan kepedulian sosial.
Namun realitanya, Ramadan sering kali diwarnai dengan perilaku konsumtif terutama dalam hal makanan, belanja dan gaya hidup. Misalnya, makan berlebihan saat berbuka sebagai bentuk balas dendam setelah berpuasa seharian, berlomba-lomba membeli baju baru dan segala perlengkapan secara berlebihan menjelang hari raya, serta bermegah-megahan mengikuti tren yang justru bertentangan dengan spirit Ramadan.
Sikap-sikap tersebut tentu mencemari esensi Ramadan yang seharusnya menjadi momentum perubahan menuju produktivitas. Tentu, hal itu dibutuhkan kesadaran dari diri masing-masing dalam memahami makna “ibadah puasa” yang sebenarnya.
Puasa sebagai Latihan Ketakwaan dan Pengendalian Diri
Makna dari “لعل “sebagai tujuan puasa adalah الإعداد (persiapan) atau الهتيئة (pembentukan) yang artinya persiapan jiwa orang yang berpuasa untuk bertakwa kepada Allah. Kunci keberhasilan dari tujuan puasa ini adalah “kesadaran diri seorang muslim” yang sejatinya tergambarkan dengan bentuk amaliah puasanya.
Puasa merupakan ibadah yang langsung diawasi oleh Allah, sehingga menjadi rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya, di mana tidak ada seorang pun yang mengetahui hakikat puasanya kecuali Allah.
Alhasil, ketika seseorang meninggalkan hawa nafsu dan kenikmatannya yang tersedia sepanjang waktu, semata-mata demi menaati perintah Allah dan tunduk kepada bimbingan agamanya selama sebulan penuh dalam setahun, serta mengingat pada setiap godaan yang muncul, baik berupa makanan lezat, minuman segar yang dingin, buah-buahan yang ranum, dan sebagainya, maka andai bukan karena kesadaran akan pengawasan Allah, ia tidak akan mampu menahan diri dari menikmatinya.
Niscaya, dengan kebiasaan ini akan tumbuh dalam jiwanya pengagungan dan pemuliaan terhadap Allah Taala. Inilah persiapan terbesar bagi jiwa dan pendidikan terbaik untuk membangun kesadaran akan pengawasan Allah (murâqabah) dan rasa malu kepada-Nya. Sebab, seorang hamba yang mencapai tingkatan ini akan merasa malu jika terlihat oleh Allah dalam keadaan yang dilarang-Nya.
Kesadaran ini adalah salah satu bentuk kesempurnaan iman kepada Allah Ta’ala dan penghayatan yang mendalam dalam pengagungan serta pemuliaan-Nya. Kesadaran akan pengawasan Allah ini adalah persiapan terbaik bagi jiwa untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Selain itu, sebagaimana ia mempersiapkan seseorang untuk kebahagiaan di akhirat, ia juga mempersiapkannya untuk kebahagiaan di dunia. [‘Alî Ahmad al-Jurjâwî: 1997, 136]
Puasa melatih jiwa seseorang untuk bertakwa kepada Allah dengan meninggalkan syahwat alaminya yang halal dan mudah dilakukan.
Redaksi kalimat dalam surah al-Baqarah ayat (183) yaitu “تتقون كُلعل “menggunakan fi’l mudhâri’ yang mengindikasikan makna kata kerja hâl dan mustaqbal. Artinya, persiapan dan pembentukan ketakwaan tersebut berlaku selama menjalankan puasa Ramadan dan juga untuk kedepannya, dengan senantiasa terus berupaya meningkatkan ketakwaan pada setiap waktu.
Dengan demikian, seseorang yang menjalankan puasa akan terlatih memiliki kemampuan meninggalkan syahwat yang diharamkan dan bersabar terhadapnya, sehingga menghindarinya menjadi lebih mudah karena telah terbiasa dan terlatih.
Selain itu, puasa juga memperkuat dirinya dalam menjalankan tugas dan kepentingan serta bersabar dalam menghadapinya. Alhasil, puasa dalam Islam bukanlah bertujuan untuk menyiksa diri, tetapi untuk mendidik dan menyucikan jiwa.
Puasa membantu memunculkan sifat murâqabah (kesadaran akan pengawasan Allah) dan menjadikannya terkendali dan terjaga di dunia, serta mendatangkan kebahagiaan di akhirat. Orang yang memiliki kesadaran murâqabah tidak akan tenggelam dalam maksiat karena ia tidak akan lama berada dalam keadaan lalai dari Allah dan jikalau lalai, maka ia akan segera sadar dan kembali bertaubat.
Puasa adalah pendidik terbaik bagi kemauan dan tekad seseorang sebagai kendali yang menahan hawa nafsu. Oleh karena itu, seorang yang berpuasa sepatutnya menjadi pribadi yang merdeka, yang berbuat berdasarkan keyakinannya terhadap kebaikan, bukan menjadi hamba bagi syahwat dan keinginannya. [Rasyîd Ridhâ: 1947, 145-146]
Dalam realitas sosial, kesadaran ini tidak hanya berdampak pada hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, melainkan juga hubungan horizontal antara setiap individu dalam mengontrol dirinya maupun saat berinteraksi sosial.
Mengendalikan Nafsu Konsumtif Menjadi Produktif
Manusia yang memiliki kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan akan terdorong secara alamiah untuk memenuhinya. Namun, sering kali kebutuhan bergelut dengan keinginan sehingga mendorong pada sikap berlebihan hingga berkembang menjadi gaya hidup konsumtif yang berorientasi pada kesenangan semata, tanpa produktivitas.
Sejatinya, puasa tidak hanya mengajarkan manusia untuk menahan diri dari sesuatu yang haram saja, melainkan juga mengajarkan pengendalian diri dari sesuatu yang halal agar terhindar dari pola konsumtif yang berlebihan. Sesungguhnya, makanan yang halal tidaklah bahaya karena jenisnya, tetapi sering kali karena jumlahnya yang berlebihan sehingga menjadikan berbahaya bagi tubuh manusia.
Oleh karena itu, puasa bertujuan untuk menguranginya sesuai dengan kebutuhan tubuh. Saat berpuasa, seseorang belajar menyederhanakan kebutuhannya, membatasi asupan dan menyadari bahwa ia bisa tetap bertahan dengan konsumsi yang lebih sedikit. [Abû Ahmad al Ghazâlî: 1996, 46-47]
Program puasa ini dapat mendidik lebih bijak dalam mengelola sumber daya, baik dalam aspek finansial, waktu maupun energi. Alhasil, ketika seseorang berpuasa, ia secara alami mengatur ulang ritme hidupnya seperti menjaga pola makan yang lebih terstruktur, menghindari perilaku boros waktu dan mengarahkan energi pada hal-hal yang bermanfaat.
Dalam konteks ekonomi, Ramadan dapat menjadi ajang pembelajaran bagi umat Islam untuk mengelola keuangan dengan lebih bijak. Namun realitanya, Ramadan menjadi momen pengeluaran rumah tangga yang cenderung meningkat drastis. Oleh karena itu, munculnya kesadaran dapat membantu menciptakan pribadi yang lebih produktif, tidak terjebak budaya konsumtif dan lebih fokus pada kebermanfaatan jangka panjang seperti gerakan berbagi takjil ataupun sedekah lainnya, peningkatan produktivitas spiritual dan intelektual melalui program dakwah atau kajian lainnya, ekonomi berbasis syariah seperti persiapan zakat dan wakaf.
Bagaimana mungkin seseorang bisa mendapatkan manfaat puasa dalam menundukkan musuh dan mengekang syahwatnya jika saat berbuka ia mengganti semua makanan yang ditinggalkannya sepanjang hari, bahkan melebihinya dengan aneka ragam makanan? Alhasil, hal ini akan menjadi kebiasaan buruk, di mana makanan-makanan terbaik disimpan khusus untuk Ramadan, sehingga seseorang makan dalam sebulan lebih banyak daripada beberapa bulan sebulannya.
Padahal, rahasia dan inti dari puasa adalah melemahkan kekuatan-kekuatan yang menjadi sarana setan dalam mengajak kepada keburukan. Hal ini hanya dapat dicapai dengan mengurangi makan, yaitu dengan makan sesuai porsi kebutuhan, bukan keinginan. Tidak hanya soal makanan, tetapi hal ini juga berlaku pada hal-hal lain agar tidak dikonsumsi secara berlebihan seperti pakaian, aksesoris dan berbagai kesenangan dunia lainnya.
Puasa menjadi rem (pengendali) agar tidak rakus dengan terbiasa hidup sebagai konsumtif secara berlebihan, bahkan menjadi pendorong untuk lebih produktif dalam beraktivitas. Oleh karenanya, salah satu adab puasa adalah tidak terlalu banyak tidur pada siang hari agar dapat merasakan rasa lapar dan haus, serta kelemahan fisik sehingga menjadikan hati lebih jernih dan lebih ringan untuk menjalankan segala ibadah tanpa rasa malas yang membebani akibat kondisi perut penuh dengan makanan. [Abû Ahmad al-Ghazâlî: 1996, 47-48]
*Penulis adalah mahasiswi Magister Pendidikan Kader Ulama Perempuan Masjid Istiqlal (PKUMI)
