Bisnis.com, JAKARTA – Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mengingatkan sejumlah risiko penting dalam penggunaan data transaksi elektronik untuk penilaian kelayakan penyaluran kredit atau skoring kredit.
Josua menyampaikan, risiko pertama adalah risiko penilaian yang keliru akibat data yang tidak lengkap atau tidak mewakili kondisi usaha sebenarnya.
“UMKM yang masih sangat tunai, musiman, atau baru mulai memakai QRIS bisa tampak berisiko tinggi karena volumenya kecil, padahal usahanya sebenarnya sehat,” kata Josua, Senin (17/11/2025).
Sebaliknya, lanjut Josua, usaha yang agresif mengarahkan pembayaran melalui QRIS tetapi memiliki biaya tinggi dan margin tipis bisa terlihat sangat prospektif di data, padahal daya tahannya lemah.
Menurutnya jika tidak diimbangi penilaian kualitatif, hal ini berpotensi melahirkan bentuk baru dari ketertinggalan akses keuangan, terutama bagi pelaku usaha yang tertinggal dalam adopsi teknologi.
Risiko kedua yakni perlindungan data dan penyalahgunaan informasi. Josua menuturkan, data QRIS pada dasarnya menunjukkan pola belanja dan pemasukan yang sangat pribadi bagi pelaku usaha maupun pemiliknya.
Tanpa tata kelola yang kuat, Josua menilai data ini bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang tidak disampaikan dengan jelas kepada pemilik data, misalnya penawaran produk yang berlebihan, penjualan data ke pihak lain, atau penetapan syarat kredit yang merugikan kelompok tertentu.
Josua mengatakan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menekankan pentingnya pelindungan konsumen dan terus memperkuat pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan dan inovasi teknologi, termasuk melalui pengawasan penyelenggara pemeringkat kredit alternatif dan agregasi jasa keuangan yang memroses ratusan juta permintaan data skor kredit dalam setahun.
Dia menambahkan, tingginya pengaduan terkait keuangan ilegal dan penipuan digital juga menunjukkan bahwa risiko kebocoran dan penyalahgunaan data bukan hal yang bersifat teoritis semata, tetapi sudah nyata terjadi dan perlu diantisipasi secara serius.
Risiko selanjutnya yakni ketidakadilan dan bias dalam model penilaian. Menurutnya, ketika penilaian kelayakan sangat bergantung pada data transaksi elektronik, wilayah dan kelompok masyarakat yang akses internetnya lemah, literasi digitalnya rendah, atau lebih banyak bertransaksi tunai akan cenderung memperoleh skor yang lebih rendah.
“Ini bisa menimbulkan bias terhadap daerah tertinggal, pelaku usaha di pasar tradisional, dan pelaku usaha perempuan yang sering kali berada di sektor mikro dengan keterbatasan teknologi,” tuturnya.
Selain itu, lanjut dia, model penilaian yang rumit dan bersifat kotak hitam menyulitkan debitur untuk memahami alasan penolakan. “Padahal dari sisi pelindungan konsumen mereka berhak atas penjelasan yang wajar dan kesempatan untuk mengajukan keberatan,” pungkasnya.
Dalam catatan Bisnis, Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa jejak digital QRIS dapat menjadi dasar penilaian kelayakan penyaluran kredit, utamanya bagi pelaku UMKM.
Deputi Gubernur BI Juda Agung menjelaskan bahwa teknologi AI dapat mengolah jejak digital transaksi keuangan yang tercipta dari penggunaan sistem pembayaran digital seperti QRIS. Nantinya, data olahan AI tersebut akan menjadi basis alternative credit scoring alias penilaian kredit alternatif.
Juda mencontohkan, pelaku UMKM yang sudah menggunakan QRIS akan meninggalkan jejak digital seperti berapa pemasukannya, berapa pengeluarannya, berapa yang disimpan, hingga berapa pelanggannya.
“Ini jejak-jejak digital keuangan dari si ibu ini [pelaku UMKM] bisa diubah oleh AI menjadi sebuah akses keuangan, ketika ibu ini memerlukan pinjaman dari bank atau pinjaman dari fintech lending, yang sering sekarang disebut dengan alternative credit scoring,” ujar Juda dalam acara FEKDI & IFSE 2025 di Jakarta, Sabtu (1/11/2025).
Langkah tersebut, sambung Juda, sejalan dengan arah kebijakan BI dalam mendorong transformasi digital sistem pembayaran dan memperluas inklusi keuangan.
Menurutnya, digitalisasi yang inklusif bukan tentang memiliki cip super atau algoritma paling mutakhir. Juda menekankan pentingnya teknologi digitalisasi keuangan untuk menyentuh hidup masyarakat paling membutuhkan.
“Teknologi canggih perlu, tapi tidak cukup. Kita perlu pergeseran paradigma. Kita tidak hanya membutuhkan teknologi yang high-tech [teknologi canggih], tetapi right-tech atau teknologi tepat guna,” jelasnya.
