Bisnis.com, JAKARTA – Tiket murah Nataru sebagai respon stimulan dari Pemerintah disebut memberatkan maskapai penerbangan dan berakibat negatif secara jangka panjang bagi industri penerbangan.
Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman mengatakan sejauh ini tidak ada kebijakan terkait penurunan tiket 10%, yang ada hanya kebijakan terkait pemotongan fuel surcharge, pajak bandara dan penumpang hingga pemotongan harga avtur.
“Harga [tiket] per akhir November kemarin sudah turun, karena memang ada penurunan biaya avtur berdasarkan penurunan harga global minyak. Dengan fuel surcharge diturunkan hanya menjadi 2% saja, tarif batas atas dan fuel surcharge sekarang sudah diatas harga akhir November kemarin? Jadi apakah emang turun? Turun dibandingkan apa dulu?” kata Gerry kepada Bisnis, Selasa (24/12/2024).
Gerry mengatakan kebijakan ini merupakan penindasan terhadap industri dan prinsip-prinsip dasar ekonomi supply and demand, jadi menurutnya, ini bukan win-win solution, tetapi industri menjadi korban.
Alhasil, kata Gerry, tiket pesawat ke destinasi favorit lebih diburu dan laris dibandingkan dengan tahun lalu.
“Dan habisnya dengan harga lebih murah tetapi margin bagi industri turun lebih dari kenaikan jumlah penumpang dibanding tahun kemarin. Ini bukan win-win, ini hanyalah window dressing oleh pemerintah untuk kelihatan seperti memberikan solusi,” kata dia.
Dengan kebijakan ini, perusahaan maskapai penerbangan malah mengurangi rencana pemulihan atau ekspansi mereka untuk tahun depan.
“Ini bukan win-win menurut saya, ini malah jangka panjangnya lose-lose. Bukannya melakukan hal-hal yang wajar untuk mempercepat recovery kapasitas tetapi malah melakukan yang sebaliknya,” kata dia.