Pengamat Minta Pemerintah Tunjuk Koordinator Nasional Bencana Sumatra

Pengamat Minta Pemerintah Tunjuk Koordinator Nasional Bencana Sumatra

Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai persoalan utama penanganan bencana alam, khususnya banjir Sumatra, saat ini adalah absennya figur koordinator nasional yang memiliki otoritas dan kepemimpinan kuat di lapangan.

“Dari awal sampai hari ini, pemerintah belum menunjuk siapa koordinator penanganan bencana [banjir Sumatra]. Padahal dalam kasus besar sebelumnya selalu ada figur sentral,” ujar Agus saat dihubungi Bisnis, Senin (22/12/2025). 

Dia mencontohkan usai tsunami Aceh 2004 pemerintah menunjuk Kuntoro Mangkusubroto sebagai koordinator utama, sementara pada masa pandemi Covid-19 peran serupa dijalankan Doni Monardo sebagai Ketua Gugus Tugas.

Menurut Agus, penanganan bencana membutuhkan kepemimpinan yang hadir langsung di lapangan selama 24 jam untuk memastikan distribusi bantuan, pengelolaan pengungsian, rehabilitasi, hingga penyampaian data riil secara berkala 

“Tidak bisa hanya mengandalkan pejabat struktural yang datang sebentar lalu kembali ke Jakarta. Harus ada leadership yang mengoordinasikan semuanya. Selama tidak ada koordinator, penanganan akan selalu kesulitan,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa bencana bukan semata urusan nasional, tetapi kerap melibatkan bantuan lintas negara sehingga diperlukan figur yang memahami tata kelola kebencanaan secara komprehensif.

“Sekarang yang bergerak justru masyarakat. Bangsa sebesar ini tapi tidak terorganisasi. Memang terlambat menunjuk koordinator, tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali,” ujarnya. 

Senada, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai masalah utama pemerintah bukan pada kerja penanganan di lapangan, melainkan pada cara komunikasi kepada publik.

“Saya melihat kerja pemerintah sebenarnya tidak buruk. Masalahnya wilayah terdampak sangat luas. Namun komunikasinya problematik,” kata Trubus. 

Menurutnya, pemerintah seharusnya menyampaikan realitas lapangan secara jujur dan terukur, bukan sekadar pernyataan normatif atau defensif. Dia menilai publik belum mendapatkan gambaran perkembangan situasi secara real time.

“Publik tidak tahu sebenarnya sampai di mana penanganan di masing-masing kabupaten dan kota. Dulu saat Covid-19 ada juru bicara yang rutin menyampaikan update harian. Sekarang itu tidak ada,” ujarnya. 

Trubus juga menyoroti minimnya penjelasan terkait fase rehabilitasi dan rekonstruksi, seperti kerusakan rumah, jembatan, dan infrastruktur dasar lainnya, termasuk wilayah yang masih terisolasi.

“Harus dijelaskan secara rinci. Mana rumah rusak ringan, sedang, berat, bahkan yang hilang tertimbun atau terseret arus. Akses mana yang sudah terbuka dan mana yang masih terisolasi. Itu yang ingin diketahui publik,” jelasnya.

Selain itu, dia menilai pemerintah perlu lebih transparan mengenai mekanisme distribusi bantuan, siapa koordinatornya, serta kesesuaian bantuan dengan kebutuhan korban.

“Jangan sampai bantuan tidak tepat guna. Ada daerah yang lebih butuh air bersih, obat-obatan, layanan kesehatan, atau dukungan psikologis, bukan sekadar selimut atau pakaian,” katanya. 

Trubus juga mengingatkan agar komunikasi penanganan bencana tidak berubah menjadi ajang pencitraan pejabat.

“Jangan datang hanya untuk foto-foto. Fokusnya harus pada korban. Kalau komunikasi terkesan pencitraan, kritik publik pasti makin tajam,” ujarnya.

Sementara itu, Founder sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago menegaskan pemerintah tetap wajib menjelaskan seluruh capaian dan langkah yang telah dilakukan dalam penanganan bencana.

“Pemerintah punya hak jawab dan kewajiban mensosialisasikan semua hal yang sudah dilakukan. Rakyat wajib tahu,” kata Pangi.

Namun, ia mengingatkan agar penjelasan tersebut disampaikan dengan cara yang santun dan terkelola, bukan emosional.

“Jangan sampai terkesan sinis atau anti kritik. Pemerintah harus berhati-hati memilih diksi dan frasa agar tidak memunculkan persepsi negatif di masyarakat,” ujarnya. 

Menurut Pangi, gaya komunikasi pemerintahan sipil berbeda dengan militer dan membutuhkan pendekatan dialogis.

“Ini pemerintahan sipil, bukan garis komando tunggal. Aspirasi dan daya kritis masyarakat harus direspons dengan strategi komunikasi yang sesuai dengan tradisi masyarakat sipil,” pungkasnya.