Pengamat: Fitnah ke Jokowi dan Keluarga Diduga Jadi Strategi Politik untuk Pilpres 2029
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pengamat politik Pieter C. Zulkifli mengingatkan bahwa demokrasi hanya akan matang jika semua pihak bersedia bersaing secara sehat, bukan dengan cara menjatuhkan karakter lawan politik.
Pieter mencontohkan maraknya narasi negatif terhadap Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan keluarganya dalam beberapa waktu terakhir.
“Gelombang fitnah terhadap mantan Presiden Jokowi dan keluarga diduga bukan sekadar kritik, tapi strategi politik menjelang Pilpres 2029,” kata Pieter dilansir dari Tribunnews.com, Kamis (23/10/2025).
Pieter, yang merupakan mantan politisi Partai Demokrat sekaligus mantan Ketua Komisi III DPR RI periode 2009–2014, menilai pola serangan terhadap Jokowi dan keluarganya menunjukkan adanya upaya politik terorganisasi.
Ia menyoroti isu dugaan ijazah palsu Jokowi sebagai contoh paling mencolok dari strategi politik berbasis disinformasi.
“Isu itu berkembang liar di ruang publik, padahal berulang kali Mahkamah Konstitusi (MK), perguruan tinggi, dan lembaga hukum menyatakan tidak ada kejanggalan,” ujarnya.
Belakangan, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang juga putra sulung Jokowi, turut menjadi sasaran narasi negatif.
Gibran bahkan digugat secara perdata oleh warga sipil bernama Subhan Palai, atas perbuatan melawan hukum karena dinilai ada syarat pendaftaran cawapres yang tidak terpenuhi.
Dalam gugatan tersebut, Gibran dan KPU dituntut membayar ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
Menurut Pieter, fenomena ini memperlihatkan mudahnya ruang digital dikapitalisasi oleh kepentingan politik untuk menggiring persepsi publik.
“Inilah tantangan terbesar pemerintahan pasca-Jokowi, yakni menjaga rasionalitas publik agar tidak larut dalam gelombang disinformasi yang diproduksi secara sistemik,” ucapnya.
Pieter menduga ada kekuatan politik yang sengaja menciptakan opini negatif terhadap Jokowi agar tersingkir dari gelanggang politik 2029.
“Taktik yang digunakan klasik; adu domba, framing media, dan eksploitasi sentimen publik melalui buzzer dan akun anonim,” katanya.
Ia kembali menegaskan bahwa demokrasi hanya akan matang jika para aktor politik bersaing dengan gagasan dan kerja nyata, bukan lewat fitnah atau serangan personal.
“Fitnah mungkin bisa mengubah persepsi sesaat, tapi sejarah akan menilai siapa yang bekerja dan siapa yang hanya berisik,” ujar Pieter.
Lebih lanjut, Pieter menyebut ujian terbesar pasca-Jokowi bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana bangsa ini menjaga akal sehatnya di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi politik.
“Publik harus cerdas memilah informasi. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sejati berdiri di atas kebenaran, bukan kebencian,” pungkasnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Pengamat: Fitnah ke Jokowi dan Keluarga Diduga Jadi Strategi Politik untuk Pilpres 2029 Regional 23 Oktober 2025
/data/photo/2025/10/17/68f1a44a3cd63.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)