Jakarta (ANTARA) – Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Devi Darmawan mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal bisa meningkatkan partisipasi pemilih.
“Pemisahan pemilihan di level daerah dan level nasional ini memang salah satunya juga untuk meningkatkan partisipasi yang bermakna dari masyarakat agar lebih rasional di dalam memberikan suaranya ketika dia memberikan suara di level daerah maupun untuk pemilu nasional,” kata Devi dalam webinar diikuti di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, sumbu dari Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 salah satunya adalah untuk menggerakkan partai politik agar lebih dekat kepada masyarakat sebagai konstituen.
Ia menilai pemisahan pemilu dapat memberikan kesempatan bagi partai politik untuk lebih aktif dan fokus di tengah masyarakat.
Selama ini, tutur Devi, pemilu di tingkat lokal seringkali “tenggelam” oleh ingar bingar pemilu legislatif dan presiden di tingkat nasional sehingga partai politik kurang optimal dalam membangun basis di daerah.
Dengan jadwal yang terpisah, Devi menilai partai politik dapat lebih serius melakukan pendidikan politik kepada konstituennya di daerah, menjaga eksistensi partai, dan menumbuhkan semangat berdemokrasi yang lebih substansial.
Selain itu, ia juga menilai partisipasi bermakna akan muncul dengan adanya pemisahan pemilu nasional dan lokal. Hal ini karena ada waktu sosialisasi yang lebih longgar antara isu nasional dan lokal.
“Jadi secara tidak langsung, ini mendorong partai untuk bisa lebih dekat dengan masyarakat,” katanya.
Namun begitu, Devi menyebut partisipasi pemilih tidak hanya tergantung pada sistem pemilu. Kinerja partai politik dinilai turut berpengaruh dalam meningkatkan angka partisipasi tersebut.
“Ada beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih di dalam memberikan suaranya dalam pemilu. Itu ada tentang figur, kemudian juga ada tentang kesesuaian dengan konteks yang dibawa, kemudian dengan engagement-nya (pelibatan) dia (pemilih) dengan partai politik, kemudian juga dengan kesadaran berpolitiknya dia,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan kedekatan orang Indonesia dengan partai politik terbilang rendah sehingga pemilih bisa berganti-ganti pilihan dalam setiap pemilu.
“Ideologi partai itu enggak dekat dengan masyarakat karena kita publik enggak kenal dengan partai politiknya, apalagi dengan bangunan pemilu yang sekali saja dalam lima tahun ‘kan semakin menjauhkan itu atau misalnya pemilu kita yang ternyata kecenderungannya personal politik,” kata Ninis, sapaan akrabnya.
Ninis menduga ketidakdekatan pemilih dan partai politik bisa terjadi karena lemahnya pelembagaan partai politik selama ini.
Selain itu, dia menyebut partisipasi pemilih dalam pemilu juga dipengaruhi oleh ketersediaan akses informasi. Dalam hal ini, penyelenggara pemilu bertanggung jawab menyediakan informasi terkait peserta pemilu, baik calon anggota legislatif, presiden/wakil presiden, maupun kepala/wakil kepala daerah, kepada pemilih.
“Akses informasi itu juga digunakan untuk bisa meningkatkan kesadaran publik,” ucap Ninis dalam webinar yang sama.
Sebelumnya, Kamis (26/), MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Mahkamah memutuskan bahwa pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, atau presiden/wakil presiden hasil pemilu nasional.
Dalam pertimbangan hukum, MK salah satunya menyinggung masalah pelemahan pelembagaan partai jika pemilu nasional terus digelar berdekatan dengan pemilu lokal. Partai politik menjadi tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan kadernya sehingga mudah terjebak dalam pragmatisme.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
