Merangkum Semua Peristiwa
Indeks

Penangkapan Rodrigo Duterte Guncang Dunia, ICC Kirim Sinyal Keras untuk Putin dan Netanyahu – Halaman all

Penangkapan Rodrigo Duterte Guncang Dunia, ICC Kirim Sinyal Keras untuk Putin dan Netanyahu – Halaman all

TRIBUNNEWS.COM – Penangkapan dramatis mantan Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada Maret 2025 lalu, mengejutkan dunia internasional.

Selama ini, Rodrigo Duterte telah lama dikritik atas kebijakan perang terhadap narkoba yang brutal.

Duterte ditangkap dan langsung dibawa ke Belanda untuk mempertanggungjawabkan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan di hadapan Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Dikutip dari CNN, penangkapannya menjadi peristiwa langka.

Surat perintah penahanan terhadap Duterte dikeluarkan secara rahasia dan langsung dieksekusi dalam hitungan jam.

Hal ini berbeda dari penangkapan pemimpin lain yang umumnya melalui proses panjang dan terbuka.

“Ini pertama kalinya kami melihat hal ini di ICC,” kata Leila Sadat, profesor hukum pidana internasional dari Universitas Washington dan mantan penasihat ICC.

Duterte, yang kini berusia 80 tahun, dituding bertanggung jawab atas kematian lebih dari 6.000 orang selama operasi antinarkoba di Filipina.

Pemantau independen memperkirakan jumlah korban jauh lebih tinggi.

Penangkapan ini dianggap sebagai preseden penting bagi kemungkinan penuntutan pemimpin dunia lainnya yang diburu ICC, seperti Presiden Rusia Vladimir Putin dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Faktor politik masih menjadi penghalang besar.

Netanyahu baru-baru ini mengunjungi Hungaria tanpa ditangkap, meskipun negara itu adalah anggota ICC dan secara hukum wajib menahan siapapun yang dicari pengadilan.

Bahkan, Budapest justru menyatakan akan keluar dari ICC.

Selanjutnya, Netanyahu dijadwalkan bertemu Presiden AS Donald Trump untuk membahas “pertarungan di Mahkamah Pidana Internasional”, menurut kantornya.

Putin sendiri juga berada dalam daftar buron ICC sejak Maret 2023 atas dugaan mendeportasi anak-anak Ukraina secara ilegal ke Rusia.

Rusia bukan anggota ICC, sehingga kemungkinan Putin ditangkap sangat kecil — kecuali ia bepergian ke negara yang bersedia menjalankan surat perintah ICC.

“Putin telah dicap sebagai penjahat perang,” kata Sadat, meskipun kecil kemungkinan ia akan ditahan selama masih menjabat.

Sebaliknya, nasib Netanyahu bisa lebih rentan. Israel adalah negara demokrasi dengan sistem peralihan kekuasaan, seperti Filipina.

Netanyahu saat ini juga menghadapi kasus korupsi di dalam negeri dan tekanan politik yang kian besar.

Pada November 2024, ICC juga mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan selama perang Israel-Hamas di Gaza.

Sebaliknya, ICC juga mengejar pemimpin Hamas atas kejahatan selama serangan 7 Oktober 2023.

Surat perintah tersebut dikecam luas oleh politisi Israel, yang menyebut tindakan ICC “anti-Yahudi”.

AS dan negara-negara sekutu Israel turut mengecam langkah tersebut.

Ironisnya, Prancis yang sebelumnya mendukung surat perintah untuk Putin, menolak mendukung surat perintah terhadap Netanyahu — dengan alasan Israel bukan anggota ICC.

Langkah ini memunculkan tudingan standar ganda dalam penegakan hukum internasional.

“Negara tidak dapat mengklaim keberhasilan keadilan internasional jika mereka tidak berkomitmen menegakkan hukum secara setara,” kata James Joseph dari Jurist News.

Pengadilan Internasional memang memiliki tantangan besar.

Dari 60 surat perintah penangkapan sejak didirikan, hanya 11 orang yang pernah dihukum — semuanya dari Afrika.

Sebanyak 31 tersangka masih bebas.

ICC dituduh terlalu fokus pada Afrika.

Sadat mengatakan hal itu karena pada awal berdirinya, banyak negara Afrika justru meminta ICC turun tangan menyelidiki konflik brutal yang sedang terjadi di wilayah mereka.

Kini, fokus ICC mulai bergeser.

Suriah adalah contoh lain di mana ICC baru mendapat akses setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad pada akhir 2024.

Pemerintahan sementara yang baru membuka pintu bagi penyelidikan.

Di Filipina, perubahan politik juga menjadi kunci.

Awalnya Presiden Ferdinand Marcos Jr menolak bekerja sama dengan ICC.

Setelah hubungan politik dengan keluarga Duterte memburuk, sikap Manila berubah drastis.

“Ada yang beranggapan bahwa semua ini hanya soal politik,” kata Gregory Gordon, profesor hukum di Universitas Peking, Shenzhen.

Namun, ia tetap optimis kalau penangkapan Duterte menunjukkan hukum internasional bisa bekerja — meski lambat dan penuh tantangan.

“Ini bisa jadi awal runtuhnya budaya impunitas,” tutup Gordon.

(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

Merangkum Semua Peristiwa